REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Seekor paus remaja yang kelaparan telah mati setelah menelan 40 kilogram kantong plastik. Kejadian tersebut membuat para konservasionis mendesak adanya tindakan terhadap mereka yang terus membuang sampah ke sungai dan laut.
Paus jantan sepanjang 4,7 meter itu terlihat ketika terjebak di perairan lepas pantai Filipina pada Sabtu (16/3) pagi. Ia dehidrasi, kurus, dan muntah darah.
Paus itu mati tidak lama kemudian dan ahli biologi kelautan Darrell Blatchley dan timnya bergegas untuk mengevakuasi bangkainya untuk mulai menyelidiki penyebab kematian.
"Setelah mencapai perut saya tahu paus ini telah mati karena konsumsi plastik," katanya.
"Saya tak menyangka jumlah plastiknya."
Di dalam perut paus itu, ia menemukan 16 karung beras, empat kantong perkebunan pisang, dan banyak kantong belanjaan dan plastik biasa. Begitu banyak plastik di perutnya, dan telah ada di sana untuk waktu yang lama, sehingga paus muda itu mati karena dehidrasi dan kelaparan.
"Paus ini memiliki plastik terbanyak yang pernah kita lihat dalam paus. Ini menjijikkan," kata Blatchley.
"Itu begitu sangat buruk, plastiknya mulai mengapur."
Filipina berada di peringkat negara-negara terburuk di dunia untuk polusi plastik, kata Blatchley.
"Orang-orang Filipina adalah orang yang bangga, sayangnya itu bukan dalam hal kebersihan atau menjaga lingkungan," katanya.
Dalam dekade terakhir, Blatchley, yang mengelola Museum Kolektor D'Bone, telah menemukan 61 bangkai paus dan lumba-lumba. Ia mengatakan 57 hewan, termasuk empat yang hamil, telah mati karena jaring ikan, dinamit, dan plastik.
"Tindakan harus diambil oleh pemerintah terhadap mereka yang terus memperlakukan saluran air dan laut sebagai tempat sampah," katanya.
"Filipina perlu berubah dari generasi anak-anak ke atas atau tidak ada yang tersisa."
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.
Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.