REPUBLIKA.CO.ID, ROMA -- Pembicaraan tingkat tinggi antara Amerika Serikat (AS) dengan Rusia berakhir tanpa kesepakatan. Pembicaraan tentang cara meredakan krisis Venezuela berakhir dengan kedua pihak masih berselisih soal legitimasi Presiden Nicolas Maduro.
Rusia mengatakan, Maduro tetap menjadi satu-satunya pemimpin negara yang sah. AS dan banyak negara Barat lainnya mendukung pemimpin Majelis Nasional Juan Guaido yang mengajukan ketentuan konstitusional pada Januari mengambil kepresidenan sementara.
"Saya pikir pembicaraan itu positif dalam arti kedua belah pihak muncul dengan pemahaman yang lebih baik tentang pandangan pihak lain," ujar perwakilan khusus AS, Elliot Abrams.
Rusia mengatakan, kedua pihak kini memahami sudut pandang masing-masing dengan lebih baik setelah pembicaraan dua jam di Roma. Kepala delegasi Rusia, Wakil Menteri Luar Negeri Sergei Ryabkov bersikap terus terang.
"Mungkin kami gagal mempersempit posisi pada situasi ini, kami berasumsi AS memperlakukan prioritas kami dengan serius, pendekatan dan peringatan kami," kata kantor berita Rusia TASS mengutip Ryabkov.
Ryabkov mengatakan, perundingan tersebut sulit, namun jujur. Moskow pun telah memperingatkan Washington untuk tidak melakukan intervensi militer di Venezuela.
Menurutnya, pembicaraanya dengan Rusia berguna, substantif, dan serius menyoal krisis Venezuela. Ryabkov juga mengatakan, Rusia khawatir dengan sanksi AS terhadap negara-negara Amerika Latin.
Aksi Solidaritas Untuk Venezuela. Massa yang tergabung dalam Komite Solidaritas untuk Venezuela melakukan aksi Hari Solidaritas Global untuk Venezuela di depan halaman Bank Citibank, Kota Bandung, Senin (18/3).
Beberapa jam sebelumnya, AS menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan pertambangan emas Venezuela yang dikelola pemerintah Minerven dan pemimpinya, Adrian Perdomo. Presiden AS Donald Trump mengatakan, semua opsi, tersedia untuk Venezuela. Hal itu yang menurut Abrams diajukan kepada Rusia dalam pertemuan.
Para perwira militer berpangkat tinggi dipandang penting untuk menjaga Maduro tetap berkuasa dalam menghadapi krisis ekonomi hiperinflasi yang telah menyebarkan kelaparan dan penyakit yang dapat dicegah serta menyebabkan eksodus sekitar tiga juta orang sejak 2015.
Pemerintah Maduro, yang mempertahankan dukungan Rusia dan Cina, mendapat kecaman internasional yang luas setelah ia terpilih kembali tahun lalu dalam pemungutan suara yang dianggap sebagai penipuan. Abrams mengutip perkiraan baru-baru ini bahwa selama beberapa bulan ke depan, ekspor minyak vital Venezuela akan turun di bawah satu juta barel per hari, sementara ekspor minyak negara itu menurun sekitar 50 ribu barel per bulan.
"Ini bencana bagi Venezuela," kata Abrams.