REPUBLIKA.CO.ID, HAJJAH -- Konflik selama empat tahun telah mendorong Yaman menjadi salah satu negara Arab termiskin, dan warganya terancam kelaparan. Perang yang terjadi di Yaman telah memutus rute transportasi untuk bantuan makanan dan bahan bakar.
Selain itu, perang juga menyebabkan rumah tangga kehilangan pendapatan karena upah sektor publik tidak dibayar. Sehingga, warga Yaman terpaksa keluar dari pekerjaan mereka. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat, sekitar 80 persen penduduk Yaman membutuhkan bantuan kemanusiaan. Dua pertiga distrik di negara tersebut terancam kelaparan.
Desa-desa terpencil yang terletak di pegunungan Yaman mengalami krisis ekonomi akibat perang. Salah satu penduduk desa pertanian kecil di perbukitan Provinsi Hajjah di barat laut Yaman, Hussein Abdu (40 tahun) jatuh miskin dan harus menyaksikan anak-anaknya kekurangan gizi dan kelaparan. "Sebelum perang, kami bisa mendapatkan makanan karena harga terjangkau dan saya memiliki pekerjaan. Sekarang harga makanan telah meningkat secara signifikan, dan kami hanya mengandalkan yoghurt dan roti untuk nutrisi," ujar Abdu, Kamis (21/3).
Abdu memiliki seorang anak berusia 10 tahun yang mengalami kurang gizi kronis. Afaf memiliki berat badan sekitar 11 kilogram dan menderita hepatitis, yang kemungkinan disebabkan oleh air yang terinfeksi. Afaf terpaksa berhenti sekolah karena kondisinya yang lemah. "Jika saya melihat sisa makanan, saya berikan kepada anak-anak supaya tidak kelaparan. Saya bisa menahan lapar, tetapi mereka tidak bisa," ujar Abdu.
Abdu kehilangan istri pertamanya pada awal 2019 karena menderita TBC. Untuk menghidupi istri keduanya dan enam anak-anaknya, Abdu bekerja menggembalakan domba orang lain dan dibayar dengan produk makanan olahan susu. Kondisi Afaf yang semakin kritis membuat Abdu mengerahkan segala upaya untuk membawa putrinya ke pusat kesehatan di kota Aslam dan Sanaa. Namun, perawatan kesehatan yang berada di kota tersebut sangat terbatas. Sistem perawatan kesehatan Yaman telah runtuh akibat perang. Sementara klinik yang didukung oleh donor internasional berada di bawah tekanan yang cukup parah.
Afaf didiagnosis menderita hepatisis, gizi buruk, retensi air, dan alergi gandum. Afaf menjalani perawatan selama beberapa minggu di pusat kesehatan tersebut. Gadis cilik itu kini telah kembali ke rumahnya setelah menjalani pengobatan intravena dan diet khusus.
Abdu mengatakan, Afaf hanya dibolehkan makan buah dan sayuran. Namun, keterbatasan penghasilan membuat Abdu cukup berat membelikan buah dan sayuran bagi anaknya tersebut. Apabila kondisi Afaf kembali memburuk, Abdu tidak akan mampu lagi untuk membawanya ke pusat kesehatan. "Demi Tuhan, jika aku punya apa-apa aku akan membelikannya sayur dan buah, tetapi aku tidak punya apa-apa," kata Abdu.
Meski hidup dalam kemiskinan, Abdu selalu menghibur anak-anaknya dengan cara menaikkan mereka ke gerobak dorong kemudian mendorongnya. Sementara, Afaf yang masih terlihat lemah membantu ibunya menyiapkan makanan sederhana berupa nasi, tomat, dan roti. Sekitar 6 kilometer dari tempat tinggal Abdu terdapat pasar lokal yang menjual buah, sayuran, dan biji-bijian.
Seorang petani, Ali Ahmad al-Aslami mengatakan, harga bahan makanan mengalami lonjakan cukup signifikan. Sebelum perang harga 5 kilogram beras yakni 1.500 real Yaman. Setelah terjadinya perang, harga 5 kilogram beras melonjak menjadi 3.500 real Yaman. "Satu kantung gandum 20 kilogram dukunya 6.000 real Yaman dan sekarang 9.000 real Yaman. Semua harga telah berubah, termasuk sayuran. Satu kilogram tomat yang harganya 100 real, kini menjadi 500 real," ujar al-Aslami.
Selain mengalami krisis pangan, perang Yaman juga menyebabkan sulitnya akses air bersih. Beberapa wilayah di Yaman membutuhkan pompa untuk mengeluarkan air. Sementara harga air bersih telah meningkat secara signifikan. Seorang perawat dan kepala klinik gizi buruk di Aslam, Makiah al-Aslami telah merawat Afaf dalam beberapa minggu. Menurutnya, sanitasi yang tidak bersih dapat berdampak signifikan terhadap kesehatan Afaf. "Air dan kondisi tempat tinggalnya akan berdampak pada kesehatannya dalam dua hari," ujar al-Aslami.
Setelah mengalami ketidakstabilan selama beberapa dekade, konflik terbaru Yaman dimulai pada akhir 2014 ketika pasukan Houthi mengusir pemerintah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi dari ibukota Sanaa. Aliansi pasukan Yaman dan Arab yang didukung Saudi kemudian melakukan intervensi pada Maret 2015 untuk memulihkan pemerintahan Hadi.
Gerakan Houthi yang selaras dengan Iran, menyatakan bahwa hal tersebut merupakan revolusi melawan korupsi, mengendalikan Sanaa dan sebagian besar pusat populasi. Koalisi yang dipimpin oleh Arab Saudi dan Uni Emirat Arab berada di bawah tekanan Barat yang meningkat, untuk mengakhiri perang yang telah menewaskan puluhan ribu orang. PBB menyebut konflik Yaman sebagai krisis kemanusiaan paling mendesak di dunia.
Pada Desember, pihak-pihak yang bertikai mencapai kesepakatan untuk gencatan senjata dan penarikan pasukan dari kota pelabuhan utama Hodeidah di Laut Merah. Gencatan senjata sebagian besar telah dilakukan, tetapi penarikan telah terhenti karena ketidakpercayaan di antara para pihak. Hal tersebut mempertaruhkan upaya PBB mengadakan pembicaraan lebih lanjut untuk menyetujui kerangka kerja bagi negosiasi politik dalam mengakhiri perang. Di sisi lain, kekerasan juga berlanjut di bagian lain Yaman yang tidak tunduk pada gencatan senjata.