Jumat 22 Mar 2019 07:47 WIB

Warga Selandia Baru Berkumpul Peringati Sepekan Penembakan

Azan dikumandangkan ke seluruh negeri melalui radio dan televisi.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Ani Nursalikah
 Pemakaman korban teror penembakan masjid di Christchurch, Selandia Baru, Rabu (20/3).
Foto: AP/Mark Baker
Pemakaman korban teror penembakan masjid di Christchurch, Selandia Baru, Rabu (20/3).

REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Masyarakat Selandia Baru memperhatikan jalannya shalat Jumat di negara itu. Hari ini, tepat sepekan aksi terorisme yang menewaskan 50 korban di dua masjid di Christchurch.

Azan dikumandangkan ke seluruh negeri melalui radio dan televisi. Setelah itu diikuti mengheningkan cipta selama dua menit.

Baca Juga

Perdana Menteri (PM) Selandia Baru Jacinda Ardern dan ribuan warga negara lainnya berkumpul di Hagley Park, seberang Masjid Al Noor di Christchurch saat panggilan salat Jumat pukul 13.30 waktu setempat berlangsung. Ribuan warga lainnya mendengarkan azan di radio atau menonton di televisi, ketika shalat Jumat berlangsung. Setelah itu, akan ada kegiatan doa bersama selama dua menit pada para korban aksi terorisme.

Sehari sebelumnya, pemerintah mengumumkan larangan senjata api semi-otomatis gaya militer, seperti senjata yang digunakan teroris dalam serangan pada Jumat pekan lalu. Setidaknya, sebanyak 42 orang meninggal dunia di Masjid Al Noor dan tujuh orang meninggal di Masjid Linwood.

"Setiap senjata semi-otomatis yang digunakan dalam serangan teroris pada hari Jumat akan dilarang," kata Ardern, Kamis (21/3).

Undang-undang pengatur kepemilikan senjata didukung, tidak hanya oleh Partai Buruh liberal Ardern, tetapi juga Partai Nasional oposisi konservatif. Dengan demikian, draf regulasi itu dapat disahkan menjadi undang-undang.

Sejumlah tokoh dijadwalkan hadir dalam kegiatan shalat Jumat, seperti Presiden Asosiasi Muslim Lebanon di Sydney Samier Dandan dan sejumlah delegasi pemimpin Muslim yang terbang ke Christchurch. “Saya harus memberikan rasa hormat saya kepada Perdana Menteri Selandia Baru, dengan posisi dan tindakannya, mampu berbicara keras," kata dia.

Ismat Fatimah (46 tahun) mengaku sedih melihat Masjid Al Noor masih dikelilingi oleh barikade konstruksi, petugas polisi bersenjata, serta tumpukan bunga dan pesan duka. "Kami merasa lebih kuat dari sebelumnya, dan kami adalah satu," kata dia. Dia akan mendoakan para korban yang meninggal dunia.

Erum Hafeez (18 tahun) merasa terhibur dengan tanggapan luar biasa dari warga Selandia Baru terhadap tragedi pada Jumat lalu. "Kami tidak ditinggalkan dan sendirian,” ujar dia.

Ada hampir 250 ribu pemilik senjata berlisensi di Selandia Baru dari total lima juta populasi penduduknya. Pejabat negara memperkirakan ada 1,5 juta senjata di negara itu.

Ardern mengatakan orang-orang dapat menyerahkan senjata terlarang mereka di bawah amnesti, sementara para pejabat mengembangkan skema pembelian kembali formal. Diperkirakan, rencana itu akan menelan biaya hingga 200 juta dolar Selandia Baru (140 juta dolar AS). Pemerintah mengatakan polisi dan militer akan dibebaskan dari kebijakan itu.

Pekerja di masjid Al Noor bekerja keras memperbaiki kerusakan karena serangan terorisme. "Mereka akan mengubur karpet, karena penuh darah, dan terkontaminasi,” kata imam Gamal Fouda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement