REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Thailand menggelar pemilihan umum (pemilu) pertama sejak kudeta militer delapan tahun lalu. Dalam pemilu kali ini, diprediksi terdapat 7 juta pemilih muda yang menginginkan perubahan bagi negaranya.
Salah satu pemilih muda tersebut adalah Choltanutkun Tun-Atiruj (26 tahun). Ketika pemilu 2011, usia Choltanutkun belum cukup untuk memenuhi syarat sehingga dia tidak bisa berkontribusi dalam pesta demokrasi di negaranya.
Pemilih muda yang berusia antara 18-25 tahun berjumlah sekitar 15 persen dari total 52 juta warga negara Thailand yang memenuhi syarat untuk mengikuti pemilu.
"Saya pikir banyak orang yang cukup lelah mengenai bagaimana negara ini berjalan selama lima tahun, dan kami hanya ingin keluar dan membuat langkah kecil untuk menunjukkan bahwa kami tidak senang," ujar Choltanutkun, dilansir CNN, Sabtu (23/3).
Pemilu yang digelar pada Ahad (24/3) tersebut merupakan kontestasi antara pihak-pihak yang bersekutu dengan militer, dan kubu pro demokrasi yang sebagian besar setia kepada mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra. Dinasti politik Thaksin telah mendominasi politik dalam negeri sejak 2001.
Gejolak politik di Thailand selama beberapa dekade terakhir terlihat dari aksi protes di jalanan yang dipimpin oleh mayoritas kelompok pedesaan dan perkotaan, “Kaus Merah”, dan kelas perkotaan dan menengah tergabung dalam “Kaus Kuning”.
Kelompok populis Kaus Merah adalah para pendukung mantan perdana menteri (PM) yang diasingkan, Thaksin Shinawatra, serta Kaus Kuning yang menentang Thaksin dan mendukung militer.
Kudeta militer telah menggulingkan pemerintahan pro-Thaksin, baik yang dipimpin Thaksin pada 2006 dan adiknya Yingluck Shinawatra pada 2014. Perdana Menteri Prayut-chan-o-cha kemudian merebut kekuasaan dalam kudeta 2014.
Banyak warga Thailand yang khawatir janji Prayut tidak akan mengembalikan negara ke pemerintahan demokrasi sipil. Sementara itu, sejumlah aktivis mengatakan kekuasaan Prayut telah ditandai dengan meningkatknya penindasan.
Ratusan aktivis telah didakwa di bawah undang-undang yang kejam seperti penghasutan. Selain itu, kekuasaan Prayut juga telah membatasi kebebasan berekspresi serta akses daring dengan meningkatkan pengawasan dan penyensoran.
Banyak pemilih muda Thailand yang berdiri di garis depan untuk mengembalikan kebebasan demokratis.
"Kebebasan berekspresi adalah salah satu masalah yang paling saya pedulikan. Tidak apa-apa memiliki pendapat yang berbeda, anda harus dapat berbicara tentang berbagai hal dan menemukan solusi yang lebih baik bagi semua orang," kata Choltanutkun.
Para politisi muda menangkap kegelisahan dari para generasi milenial, dan menawarkan janji politik yang baru serta lebih segar. Politisi muda yang sedang naik daun dari Partai Demokrat adalah Parit Wacharasindhu (26 tahun).
Baca juga, Raja Thailand: Pencalonan Putri Sebagai PM tak Pantas.
Parit merupakan lulusan Oxford University dan ikut mendirikan kelompok New Dem, untuk mendorong generasi muda terjun ke dunia politik. Selain itu, kelompok New Dem juga mengajak pemilih milenial untuk berpartisipasi dalam pemilu 2019.
New Dem mengusulkan sejumlah kebijakan di antaranya menjadikan wajib militer di Thailand dilakukan secara sukarela, melegalkan layanan ride-sharing, dan melegalisasi ganja.