REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia menolak mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan. Indonesia menegaskan pengakuan Golan sebagai wilayah Israel tak kondusif bagi upaya penciptaan perdamaian dan stabilitas di kawasan.
"Indonesia tetap mengakui Dataran Tinggi Golan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari wilayah kedaulatan Republik Suriah yang saat ini diduduki Israel pasca-perang (Arab-Israel) 1967," kata Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam pernyataan yang dirilis pada Selasa (26/3).
Indonesia menyatakan posisinya saat ini sesuai dengan prinsip Piagam PBB mengenai penghormatan atas kedaulatan dan integritas teritorial setiap negara. Sikap Indonesia juga sejalan dengan berbagai elemen yang terkandung dalam resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB terkait Dataran Tinggi Golan, antara lain Resolusi 242 (1967), 338 (1973), dan 497 (1981).
Resolusi-resolusi tersebut setidaknya menyatakan empat poin, yakni penolakan terhadap perolehan suatu wilayah yang dilakukan secara paksa, penarikan mundur pasukan Israel dari wilayah Dataran Tinggi Golan, penolakan yurisdiksi hukum Israel atas Dataran Tinggi Golan, dan penegasan bahwa langkah Israel menduduki Dataran Tinggi Golan tidak sah serta tidak memiliki dampak hukum internasional.
"Indonesia mendesak masyarakat internasional untuk terus menghormati hukum internasional dan Piagam PBB serta tetap berpedoman kepada resolusi PBB terkait dalam mendorong proses perdamaian di kawasan Timur Tengah," kata Kementerian Luar Negeri Indonesia.
Pada Senin (25/3), Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara resmi mengakui Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah Israel. Keputusan Trump menuai kecaman dan protes, khususnya dari Palestina dan Liga Arab.
Liga Arab menyatakan keputusan Trump mengakui kedaulatan Israel atas Golan tidak akan mengubah status wilayah tersebut. "Dataran Tinggi Golan tetap wilayah Suriah yanh diduduki," katanya.
Israel mulai menduduki sekitar dua pertiga Dataran Tinggi Golan setelah Perang Arab-Israel berakhir pada Juni 1967. Tel Aviv secara resmi menganeksasi atau mencaplok wilayah tersebut pada 1981. PBB, termasuk Uni Eropa tidak mengakui pendudukan tersebut hingga saat ini.