Sabtu 30 Mar 2019 03:10 WIB

CEO Rappler Ditangkap Lagi Atas Tuduhan Langgar UU

Jurnalis Filipina sekaligus CEO Rappler ditangkap di bandara Manila

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Christiyaningsih
Pemimpin redaksi Rappler, situs berita Filipina yang kritis terhadap pemerintahah, Maria Ressa, ditangkap.
Foto: Bullit Marquez/AP
Pemimpin redaksi Rappler, situs berita Filipina yang kritis terhadap pemerintahah, Maria Ressa, ditangkap.

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Jurnalis Filipina yang merpuakan CEO Rappler, Maria Ressa, kembali ditangkap. Ia dituduh melanggar Undang-Undang (UU) yang melarang kepemilikan media oleh pihak asing. Dia ditangkap di bandara Manila.

Melalui akun Twitternya, Rappler melaporkan Ressa diizinkan keluar dari tahanan setelah membayar 90 ribu peso Filipina. Sebelumnya pada bulan lalu, Ressa pun sempat ditangkap karena diduga melakukan pencemaran nama baik di internet.

Para pendukung kebebasan pers mengatakan wartawan senior tersebut menjadi sasaran Presiden Rodrigo Duterte. Ini karena sejumlah laporan kritis Rappler terkait pemerintah. Sejak Januari 2018, ada sebelas kasus hukum yang menimpa Rappler.

Saat ditangkap, Ressa menyatakan penangkapan itu termasuk pelanggaran hak-haknya. "Saya diperlakukan seperti penjahat ketika satu-satunya kejahatan saya adalah menjadi jurnalis independen," ujarnya seperti dilansir BBC, Sabtu (30/3).

Berdasarkan laporan ABS-CBN, Ressa ditangkap beberapa saat sesudah turun dari pesawat. Ia baru saja kembali dari San Francisco. Sebelum tiba, dirinya telah menyadari kemungkinan akan ditahan oleh petugas polisi.

Sebelum turun pesawat, dia pun sempat menulis di akun Twitter-nya. "Mendarat sebentar lagi dan sepertinya saya akan mendapat surat perintah penangkapan terbaru saya, ketujuh kalinya saya akan membayar jaminan," tulis Ressa.

Pemerintah menuduh Ressa, yang memiliki kewarganegaraan Filipina dan Amerika, melanggar aturan kepemilikan asing dan melakukan penipuan sekuritas. Menurut undang-undang Filipina, perusahaan media harus sepenuhnya dimiliki oleh Filipina.

Akan tetapi, Rappler membantah tuduhan pemerintah kalau situs web itu dikendalikan oleh perusahaan di luar Filipina. Organisasi kebebasan pers pun menganggap tuduhan tersebut dirancang untuk mengintimidasi wartawan independen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement