REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Pemuda Palestina yang berada di sebuah klinik medis di Gaza dengan kruk di sampingnya, Imad Hassan Khalifa (22 tahun) menceritakan alasannya ikut dalam aksi protes Great March of Return, untuk memperjuangkan kehidupan dan ekonomi yang sangat hancur di Palestina.
"Kehidupan, kondisi ekonomi dan keadaan frustrasi telah mendorong saya dan pemuda-pemuda lainnya untuk bergabung dalam aksi protes ini. Terlepas apapun hasil dan risiko yang akan kami hadapi. Saya ditembak di kaki saya dengan peluru yang bisa meledak jika terkena bagian tubuh manusia," ujarnya kepada Aljazirah, Sabtu (30/3).
Khalifa mengatakan, setelah dia terluka dalam aksi protes tersebut, ia pergi ke Mesir untuk perawatan namun seorang dokter di sana mengatakan perlu waktu yang lama untuk memulihkan luka bekas tembak di kakinya. Sekarang, dia mengunjungi klinik yang dikelola oleh Doctors Without Borders (MSF) di Gaza untuk fisioterapi dan perawatan lukanya.
"Klinik itu telah menjadi forum bagi kami orang yang terluka. Kami selalu menghibur satu sama lain untuk mengurangi rasa sakit yang kami rasakan. Kami selalu duduk tertawa dan bercanda sambil menunggu giliran kami untuk menerima perawatan."
Ketika orang-orang Palestina menandai satu tahun demonstrasi mingguan pada Sabtu (30/3), yang dijuluki Great March of Return, kelompok medis yang beroperasi di daerah itu menyatakan keprihatinan atas ribuan orang yang terluka. Protes dimulai sebagai kampanye akar rumput, menyerukan hak pengungsi dan untuk bisa kembali ke rumah dan tanah di mana mereka diusir secara paksa dan dengan kekerasan pada 1948.
MSF mengatakan Gaza benar-benar telah ditinggalkan selama 12 bulan terakhir aksi protes. Selama itu pula telah tercatat lebih dari 6.500 orang yang ditembak oleh pasukan Israel dan para korban ditelantarkan begitu saja.
Menurut badan amal medis, sebagian besar dari mereka yang terluka menderita luka kaki. "Ini bukan luka sederhana yang dapat dengan mudah dijahit. Potongan besar kaki telah pecah dan tulang-tulang di dalamnya hancur," kata kelompok itu.
Saat ini, Gaza tidak memiliki kapasitas untuk merawat semua pasiennya."Kami memiliki situasi di mana sistem kesehatan kewalahan untuk menangani pasien, walaupun MSF melakukan semua yang dapat dilakukan, kami juga tidak akan dapat mengobati semua pasien itu," kata Melki.
Sebelum peringatan Great March of Return, MSF mengatakan bahwa timnya bersiap untuk "keadaan darurat"."Kami meningkatkan kapasitas tempat tidur kami dan bahkan kami sedang bersiap-siap untuk risiko terburuk karena peringatan ini akan dihadiri banyak sekali warga Gaza," ujarnya.
Menurut pejabat kesehatan di Gaza, lebih dari 250 warga Palestina telah terbunuh sejak awal protes. Kelompok hak asasi manusia menuduh Israel menggunakan kekerasan secara berlebihan dan melawan hukum terhadap pengunjuk rasa yang tidak bersenjata.
Sekitar 80 persen populasi Gaza bergantung pada bantuan kemanusiaan, sementara Israel sangat menghambat bantuan-bantuan tersebut masuk ke dengan perizinan yang rumit. Palestina dijuluki sebagai penjara terbuka terbesar di dunia akibat ketidakadilan dan pengekangan yang luar biasa dari Israel.