Senin 01 Apr 2019 15:29 WIB

Filipina Khawatirkan 200 Kapal Cina Lintasi Pulau Sengketa

Pulau Thitu menjadi bagian dari kepulauan Spartly yang jadi sengketa dengan Cina.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Pulau di kawasan konflik laut Cina Selatan
Foto: VOA
Pulau di kawasan konflik laut Cina Selatan

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA – Militer Filipina mengatakan terdapat sekitar 200 kapal nelayan Cina yang melintasi Pulau Thitu di Laut Cina Selatan sejak awal tahun lalu. Hal itu cukup dikhawatirkan oleh Manila.

Panglima Militer Filipina Jenderal Benjamin Madrigal Jr mengungkapkan kapal-kapal nelayan Cina kerap terlihat melintasi  Pulau Thitu. “Ini menjadi perhatian, tidak hanya untuk militer, tapi juga untuk agen-agen lain, termasuk penjaga pantai. Kami mencari cara untuk mengatasi hal ini,” ucapnya, dilaporkan Bloomberg, Senin (1/4).

Baca Juga

Dia mendesak pembentukan sebuah panel beranggotakan perwakilan kedua negara untuk menyelesaikan perselisihan Laut Cina Selatan guna mengatasi kehadiran Cina di wilayah perairan strategis tersebut. Kementerian Luar Negeri Cina belum memberikan komentar apa pun terkait pernyataan Jenderal Madrigal.

Pulau Thitu atau biasa disebut “Pag-asa” oleh Filipina, merupakan bagian dari Kepulauan Spartly yang dipersengketakan antara Cina dan negara-negara Asia Tenggara. Pulau itu terletak sekitar 480 kilometer di sebelah barat Provinsi Palawan Filipina, yang juga diklaim oleh Taiwan dan Vietnam.

Filipina telah memenangkan kasus arbitrase pada 2016 yang mengugurkan klaim Beijing atas pulau tersebut. Namun, Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengabaikan hasil putusan tersebut dan lebih memilih untuk menjalin hubungan persahabatan dengan Negeri Tirai Bambu.

Selain memanfaatkan pinjaman dana, Duterte dan para pejabat Cina juga mendiskusikan tentang kemungkinan kesepakatan eksplorasi minyak bersama.

Laut Cina Selatan merupakan wilayah perairan strategis yang berbatasan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Cina mengklaim hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan sebagai bagian dari teritorialnya. Namun hal itu ditentang oleh negara-negara ASEAN. Aksi saling klaim sempat menimbulkan ketegangan dan berpotensi memicu konflik.

Guna menghindari konflik, ASEAN dan Cina telah menandatangani Declaration of the Conduct of Parties (DOC) di Kamboja pada November 2002. Deklarasi itu memuat komitmen Cina dan negara-negara ASEAN untuk mematuhi prinsip-prinsip hukum internasional, menyelesaikan sengketa secara damai, dan menahan diri dari tindakan yang dapat meningkatkan eskalasi.

Kemudian pada 2011 Cina dan ASEAN kembali berhasil menyepakati Guideline for the Implementation of the DOC. Kesepakatan tersebut menandai dimulainya pembahasan awal mengenai pembentukan Code of Conduct atau kode etik di Laut Cina Selatan. Fungsinya adalah menghadirkan seperangkat mekanisme atau peraturan tata perilaku untuk negara-negara yang berkepentingan di Laut Cina Selatan. Dengan demikian, potensi pecahnya konflik akibat tumpang tindih klaim dapat diredam.

Dalam perhelatan KTT Bisnis dan Investasi ASEAN yang diselenggarakan di Singapura pada November tahun lalu, Beijing berharap pembicaraan tentang COC dengan negara-negara ASEAN dapat diselesaikan dalam tiga tahun. Sebab, Beijing menilai kesepakatan yang tercapai nantinya dapat meningkatkan aktivitas perdagangan bebas.

“Ini adalah harapan Cina bahwa COC akan selesai dalam waktu tiga tahun sehingga akan berkontribusi untuk mempertahankan perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan,” ujar Perdana Menteri Cina Li Keqiang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement