REPUBLIKA.CO.ID, TASMANIA -- Bertambahnya populasi Muslim di Tasmania membuat kebutuhan akan rumah ibadah turut bertambah. Masjid satu-satunya di Hobart ini, kini harus menampung jamaah lebih dari kapasitas yang ia mampu.
Setibanya di Old Beach, Bastoni dan keluarganya memandang ke luar jendela mobil dengan rasa tak percaya.
"Kami tak bisa memercayainya. Kami membatin 'Apakah ini Australia?'," katanya.
"Tak banyak orang dengan kulit berwarna atau bahkan memakai jilbab. Saya ingat berpikir bahwa semua orang benar-benar menatap saya."
Sensus terakhir menunjukkan populasi Muslim Tasmania telah meningkat secara signifikan - 46 persen antara 2011 dan 2016.
Peneliti dan ahli demografi populasi, Dr Amina Keygan, mengatakan peningkatan jumlah mahasiswa internasional telah berkontribusi terhadap perubahan tersebut.
"[Itu karena] imigrasi dari berbagai negara pengirim yang semakin beragam serta peningkatan jumlah mahasiswa luar negeri dari negara-negara Muslim yang belajar di Universitas Tasmania," katanya.
Ketua Dewan Multikultural Tasmania, Waqas Durrani, mengatakan banyak imigran pindah dari kota-kota daratan ke wilayah pedalaman untuk mendapatkan tempat tinggal permanen mereka.
"Banyak siswa dari Pakistan, Iran, Irak, dan Arab Saudi semuanya menetap di sini dengan rencana untuk mendapatkan tempat tinggal permanen dan kewarganegaraan mereka karena Tasmania adalah tempat yang sangat indah dan ini adalah rumah," katanya.
"Kami menjadi semakin multibudaya dan komunitas internasional kami akan terus tumbuh, jadi kami perlu mempertahankan pesan positif bahwa kami semua berada di sini."Satu-satunya masjid
Tetapi dengan berkembangnya komunitas Muslim, satu-satunya masjid di Hobart telah merasakan tekanan.
Masjid itu mampu menampung 300 jamaah. Tetapi dengan membludaknya jamaah hingga 800 orang yang hadiri shalat Jumat, mereka merangsek hingga keluar pintu dan masuk ke tempat parkir.
Wakil presiden Asosiasi Muslim Tasmania, Kazi Sabbir, mengatakan banyak orang dipaksa untuk beribadah di luar.
"Ketika saya pertama kali datang ke sini, kami hanya memiliki tiga atau empat barisan pria saat sholat 5 waktu; tetapi sekarang, secara bertahap, seiring waktu jamaah harus sembahyang di luar," katanya.
Sabbir mengatakan beberapa jamaah pulang pergi setiap hari dari tempat terjauh di wilayah Hobart dan sekitarnya untuk beribadah di masjid.
"Sebagai Muslim, kami shalat lima waktu sehari. Kami bisa shalat di rumah atau di tempat kerja tetapi jauh lebih bermanfaat untuk shalat di masjid," katanya.
"Tapi shalat Jum'at itu istimewa - wajib datang ke masjid untuk shalat pada hari Jumat."
Ia mengatakan memiliki tempat untuk beribadah sangat penting untuk membuat pendatang baru merasa diterima.
"Mereka ingin berada di sini dan agama adalah bagian penting dari kehidupan mereka, jadi sangat penting kami membekali mereka dengan tempat-tempat di mana mereka bisa secara damai mempraktikkan agama mereka," katanya.
Merasa sangat rapuh
Komunitas Muslim Tasmania mengatakan merasa lebih rapuh dari sebelumnya.
Setelah serangan Christchurch - dan pembantaian Port Arthur yang masih lekat di ingatan warga Tasmania - Durrani mengatakan masyarakat berada di ujung tanduk.
"Ini adalah waktu yang menantang bagi umat Islam di Tasmania, dan itu adalah waktu di mana ada tindakan yang perlu diambil untuk memastikan agama tidak menjadi target," katanya.
"Kami sangat rapuh, kami semua memperhatikan keselamatan kami."
Ia mengatakan kotak sumbangan masjid telah dirampok dan kamera keamanan dihancurkan "beberapa kali" dalam setahun terakhir.
Meskipun Durrani tidak percaya insiden itu bermotif rasial atau agama, ia mengatakan kamera CCTV tambahan harus dipasang untuk mencegah serangan di masa depan.
Pemerintah Australia telah memberikan hibah 50 juta dolar AS (atau setara Rp 500 miliar) untuk membantu membiayai peningkatan langkah-langkah keamanan di masjid-masjid di seluruh Australia.
Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.