Kamis 11 Apr 2019 20:10 WIB

Psikolog: AY dan Pelaku Sama-Sama Korban

AY dan pelaku yang masih berusia anak merupakan korban dari sistem yang keliru.

Red: Nur Aini
Tiga dari 12 siswi SMU yang diduga menjadi pelaku dan saksi dalam kasus penganiayaan siswi SMP berinisial AU (14) berdiskusi dengan kerabat (kanan atas) di sela jumpa pers yang digelar di Mapolresta Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (10/4/2019).
Foto: Antara/Jessica Helena Wuysang
Tiga dari 12 siswi SMU yang diduga menjadi pelaku dan saksi dalam kasus penganiayaan siswi SMP berinisial AU (14) berdiskusi dengan kerabat (kanan atas) di sela jumpa pers yang digelar di Mapolresta Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (10/4/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK -- Kepolisian Resor Kota Pontianak Kota (Polresta Pontianak), Kalimantan Barat, telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus perundungan atau bullying terhadap seorang siswa SMP berinisial AY. Di sisi lain, para pelaku perundungan yang masih berstatus anak juga dianggap korban.

Pelaku perundungan terhadap AY telah mengakui perbuatan mereka di hadapan polisi.

Baca Juga

Dari bukti yang terkumpul, pada Rabu (10/4), para penyidik dari Polresta Pontianak menentukan tiga tersangka dari belasan siswa yang tadinya diduga terlibat dalam aksi perundungan itu.

"Mereka mengakui melakukan penganiayaan tetapi tidak secara bersama-sama mengeroyok, tetapi dalam waktu yang bersamaan."

"Kemudian mereka melakukan yang pertama dengan tersangka yang satunya, tidak lama lari lalu disambung yang kedua kemudian yang ketiga," kata Kapolresta Pontianak, Kombes Pol M Anwar, kepada awak media seperti diunggah akun Instagram resmi Polresta Pontianak.

Ketiga pelaku anak dikenakan pasal 80 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak di mana ancaman pidananya adalah 3 tahun 6 bulan, dengan kategori penganiayaan ringan sesuai dengan hasil visum yang dikeluarkan pada Rabu (10/4).

Kasus ini-pun juga menjadi viral di media sosial (medsos). Banyak postingan ramai-ramai mengutuk serta menghujat para pelaku dan meminta pihak berwenang menghukum mereka secara adil. Usulan petisi daring untuk mengusut tuntas kasus ini bahkan telah ditandatangani oleh lebih dari 2 juta orang.

Meski demikian, korban dalam kasus ini disebut tak hanya AY, yang masih tergolek lemah di rumah sakit Pontianak. Menurut psikolog anak dan keluarga, Sani Budiantini, para pelaku yang kini telah berstatus tersangka sebenarnya juga merupakan korban.

"Masyarakat harus tahu bahwa baik pelaku maupun korban anak-anak adalah sama-sama korban. Dua-duanya adalah korban dari suatu sistem yang keliru, sistem yang salah," tutur Sani kepada ABC.

"Siapa itu sistem? Sistem itu adalah lingkungan dan pengawasan orang tua, dari sekolah, mungkin bimbingan yang dia terima dari lingkungan," sambungnya.

Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani itu menyebut penggunaan medsos yang melampaui batas turut menjadi faktor di balik perilaku kekerasan tersebut.

"Tidak sepatutnya masyarakat menghakimi mereka juga, karena mereka adalah korban dari sistem. Itu dulu yang harus diwaspadai oleh lingkungan," ujarnya.

Viralnya kasus AY, kata Sani, bisa berdampak panjang, baik terhadap korban sendiri maupun pelaku anak.

"Bisa dibilang anak ini kan masih panjang perjalanan masa depannya. Kalau sekarang ini jadi anak yang gagal karena trauma atau suatu ekspos dari suatu peristiwa ya sebenarnya ini akan menjadi snow ball effect ke depannya. Akan lebih parah lagi ke depannya."

"Ini yang saya sesalkan atau ikut prihatin bahwa kasus seperti ini, apalagi yang melibatkan anak-anak, mestinya memang harus ada penanganan yang cukup spesial."

Pihak yang berwenang, menurut Sani, seharusnya bisa langsung merespons apabila penyebaran kasus ini akhirnya mengorbankan anak itu sendiri, baik korban maupun pelaku. Psikolog anak itu berpendapat mayoritas masyarakat Indonesia memiliki pemikiran yang belum matang.

"Tingkat kedewasaannya masih belum matang. Dalam pola pikir mereka, tetap pelaku disalahkan, padahal kesalahan dari sistem," kata lulusan Universitas Indonesia ini.

Pelaku juga bisa alami trauma

Di sisa lain, jika kasus AY ini dilihat dalam konteks kekerasan yang pelakunya masih anak-anak atau berusia di bawah 18 tahun, maka pelaku sebenarnya memang korban.

Psikolog dari Departemen Psikologi dan Kepribadian Sosial Universitas Airlangga Surabaya, Ike Herdiana, mengatakan dinamika perilaku kekerasan sangatlah kompleks.

"Faktor penyebabnyapun biasanya bukan penyebab tunggal, melainkan karena banyak faktor yang saling terkait."

"Oleh sebab itu terlalu dini menyimpulkan bahwa dalam kasus kekerasan yg dilakukan anak, 100 persen kesalahan ditimpakan pada anak tersebut," ujarnya.

Ike memaparkan, pelaku juga bisa mengalami trauma dalam bentuk yg berbeda dengan korban.

"Apalagi pemberitaan viral di medsos dan pelaku mendapatkan hujatan, teror, dan perlakuan negatif lain di dunia maya, bukan tidak mungkin mereka dapatkan di kehidupan nyatanya."

Selain korban, menurut Ike, pelaku juga harus mendapatkan pendampingan dan dilindungi dari sanksi sosial yang timbul karena viralnya kasus ini di medsos.

"Penting bagi masyarakat untuk memiliki perspektif korban, namun juga penting melihatnya melalui perspektif pelaku yang masih anak-anak."

Ia sepakat jika pelaku tetap harus diproses secara hukum namun tidak melupakan upaya pemulihan mental mereka.

"Masyarakat harus memberi waktu dan kesempatan pada mereka untuk belajar memahami apa yang sudah terjadi agar ke depan lebih mawas diri," kata Ike.

Peran teman sebaya

Sani Budiantini berharap agar lembaga perlindungan anak seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) lebih proaktif menangani kasus ini. Sementara itu, Wakil Ketua KPAI, Rita Pranawati, mengatakan lembaganya saat ini belum bisa mengintervensi, bahkan untuk menginisiasi proses mediasi, karena kasus AY sudah ditangani polisi.

"Kita hormati proses hukum yang berjalan, karena KPAI tidak bisa mengintervensi prosesnya."

"Kalau sudah masuk di Kepolisian, kan kita tidak bisa ngapa-ngapain. Kalau misalnya Kepolisian meminta KPAI untuk memediasi, itu bisa saja terjadi. Tapi kalau saat ini kita masih menunggu proses yang terjadi di Kepolisian."

Rita justru mengungkap pentingnya peer-counseling (konseling di antara sebaya) kepada anak karena di era kebebasan seperti sekarang ini, banyak anak tak lagi bertukar cerita dengan orang tuanya.

"Kenapa? karena sebenarnya kan mereka curhat. Peer-counseling ini tujuannya juga untuk tidak memanas-manasi temannya yang sedang panas, tapi meredam 'kalau ada kasus seperti begini, sebaiknya bagaimana?'," kata Rita.

Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2019-04-11/kasus-bullying-audrey-pelaku-juga-korban/10995360
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement