Jumat 12 Apr 2019 14:18 WIB

Sudan Terancam Dikuasai Tokoh Militer

Militer Sudan akan tetap memegang kendali kekuasaan setidaknya dalam dua tahun.

Rep: Puti Almas/ Red: Nur Aini
Rakyat Sudan merayakan setelah militer memaksa mundur Presiden Omar al-Bashir setelah 30 tahun berkuasa di Khartoum, Sudan, Kamis (11/4).
Foto: AP Photo
Rakyat Sudan merayakan setelah militer memaksa mundur Presiden Omar al-Bashir setelah 30 tahun berkuasa di Khartoum, Sudan, Kamis (11/4).

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM — Warga Sudan nampaknya masih akan menghadapi perjuangan panjang untuk mewujudkan demokrasi di negara itu. Seperti dalam laporan CNN dituliskan bahwa para tokoh militer yang menggulingkan Presiden Omar Hassan al-Bashir seperti hendak bersiap untuk mempertahankan kekuasaan baru mereka. 

Ketika berita mengenai penggulingan al-Bashir masih bergema di seluruh dunia, dewan militer Sudan memutuskan untuk membubarkan pemerintahan. Konstitusi negara juga ditangguhkan, diikuti dengan pengumuman keadaan darurat negara selama tiga bulan ke depan. 

Baca Juga

Militer Sudan mengatakan akan tetap memegang kendali kekuasaan selama setidaknya dua tahun. Dalam kurun waktu tersebut, transisi kekuasaan akan diawasi. 

Hal tersebut telah menimbulkan kecemasan bagi banyak warga Sudan yang selama ini telah menyuarakan aksi protes atas kepemimpinan al-Bashir yang non-demokratis. Termasuk juga sejumlah pengamat internasional yang menilai bahwa pemilihan umum nampaknya tidak akan diadakan dalam waktu dekat. 

Dalam sebuah pernyataan, Uni Afrika mengatakan pengambilalihan militer bukanlah jawaban yang tepat untuk apa yang dihadapi Sudan saat ini, termasuk juga aspirasi rakyat di negara itu. 

Kelompok yang memimpin protes anti-pemerintah, Asosiasi Profesional Sudan (SPA), menolak deklarasi kudeta, yang diumumkan oleh militer negara itu. SPA menyerukan kepada orang-orang untuk tetap melanjutkan demonstrasi dan melakukan aksi duduk di luar markas militer. Mereka menatakan aksi protes akan berlanjut hingga kekuasaan diserahkan kepada pemerintah transisi sipil. 

"Rezim telah melakukan kudeta militer untuk mereproduksi wajah dan entitas yang sama yang dilawan oleh masyarakat Sudan,” ujar pernyataan SPA pada Kamis (11/4), dilansir CNN, Jumat (12/4). 

Aktivis Sudan Omar al-Neel juga mengatakan bahwa orang-orang menolak apa yang diumumkan oleh Menteri Pertahanan Mohammed Ahmed Ibn Auf. Pada hari penggulingan al-Bashir, Ibn Auf resmi dilantik menjadi ketua Dewan Transisi Militer negara itu dan menjelaskan perebutan kekuasaan oleh militer melalui televisi pemerintah. 

"Semua orang Sudan berada di jalan-jalan untuk menuntut kejatuhan rezim dan tidak mendaur ulang orang yang sama," kata al-Neel.

Penggulingan al-Bashir diumumkan oleh Militer Sudan setelah aksi protes besar-besaran terjadi di negara itu sejak akhir 2018. Semula demonstrasi berlangsung untuk menuntut pembaruan ekonomi, namun berujung dengan seruan pengunduran diri al-Bashir, hingga bentrokan terjadi dan mengakibatkan puluhan orang tewas. 

Al-Bashir telah menjadi presiden sejak 1989 melalui sebuah kudeta militer. Pada Juni tahun itu tepatnya, al-Bashir memimpin kudeta militer terhadap pemerintah yang dipilih secara demokratis di bawah perdana menteri saat itu Sadiq Al-Mahdi. Kudeta tersebut dilaporkan didukung oleh tokoh agama Hassan At-Turabi.  Namun, pada pertengahan 1990-an al-Bashir dilaporkan memiliki perbedaan pendapat dengan At-Turabi, hingga kemudian tokoh agama itu dijebloskan ke penjara selama beberapa kali. 

Selain itu, al-Bashir pernah mendapat tuntutan dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas kasus kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan pemusnahan suku. Ia mengerahkan pasukan militer untuk melakukan kejahatan tersebut di Darfur, Sudan Barat, di mana konflik berlangsung di wilayah itu sejak 2003. 

Namun, meskipun ada surat perintah penangkapan oleh ICC, ia menang dalam pemilihan umum Sudan pada 2009. Pada 2011, ia menyelenggarakan referendum di Sudan Selatan, saat rakyat memilih kemerdekaan dari Sudan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement