REPUBLIKA.CO.ID, SWISS -- Wabah ebola yang terjadi di Republik Demokratik Kongo disebut bukan masalah darurat kesehatan bagi warga internasional. Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyebut kasus tersebut tidak sampai menjadi perhatian bagi masyarakat dunia.
Dalam keterangan yang dikeluarkan oleh Ketua Komite Darurat WHO, Prof Robert Steffen, disebut pengumuman darurat kesehatan tidak akan memberikan dampak apa-apa atas wabah yang terjadi. Meski demikian, bukan berarti masalah ini lalu disepelekan. Setiap usaha harus dilakukan untuk menyudahi wabah ini. "Keputusan komite ini telah disepakati oleh semuanya," ujar Steffen dikutip dari laman CNN, Sabtu (13/4).
Wabah ebola ini mulai terjadi pada Agustus 2018. Kejadian ini disebut terbesar kedua dan paling mematikan dalam sejarah. Menurut Kementerian Kesehatan Kongo, hingga kini tercatat ada 1.206 kasus dan kematian mencapai 764 kasus.
Menurut data WHO wabah Ebola yang terjadi pada 2014 di Afrika Barat menewaskan lebih dari 11 ribu orang. Total ada 1.711 kemungkinan kasus Ebola dilaporkan saat WHO mengumumkan darurat kesehatan pada 2014 untuk kasus tersebut.
Seorang peneliti senior dari Johns Hopkins Center for Health Security, Jennifer nuzzo, menyebut tanpa peringatan atau deklarasi darurat, dunia bisa kembali mengulang kejadian di tahun 2014. Dalam kasus di Afrika Barat, saat itu tidak ada pengobatan atau vaksin untuk mencegah penyebaran Ebola. Setelahnya, peneliti di bidang kesehatan melakukan riset dan eksperimen untuk menangani kasus serupa.
Kini, untuk mengatasi wabah yang terjadi di Kongo, perawatan dan vaksin yang lebih mutakhir digunakan. Terhitung ada 358 pasien pulih dari penyakitnya dan 97 ribu vaksin telah diberikan. Vaksin-vaksin ini dipercaya mampu mengurangi bahkan membatasi penyebarannya.
WHO berpegang teguh dengan definisi darurat kesehatan dunia. Darurat kesehatan didefinisikan sebagai kejadian luar biasa dan membawa resiko bagi masyarakat di negara lain dengan penyebaran internasional dan berpotensi memerlukan respon internasional yang terkoordinasi.
"Meskipun risiko penyebaran di dalam negeri dan ke negara-negara tetangga sangat tinggi, tapi risikonya tetap rendah secara global. WHO menyarankan untuk tidak membatasi perjalanan dan perdagangan dengan Kongo berdasarkan data kesehatan yang ada saat ini," tulis WHO dalam keterangan resminya.
Pusat wabah ini terjadi di Provinsi Kivu Utara dan Ituri. Dua wilayah ini memiliki kondisi padat penduduk dan berbatasan dengan Uganda, Rwanda, dan Sudan Selatan.
Hingga 9 April kemarin, total 207 kemungkinan kasus baru dilaporkan terjadi. Kasus ini terjadi 40persennya di 141 area yang terdampak.