REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Menurut penelitian terbaru, sekitar setengah dari pelaku perdagangan manusia yang dihukum dalam beberapa tahun terakhir di Australia adalah perempuan. Sebagian besar dari mereka juga menjadi korban dari perdagangan itu sendiri.
Kandidat PhD di Flinders University, Alexandra Baxter, mengatakan banyak orang belum memahami realitas perdagangan manusia di Australia, dengan masyarakat sebagian besar melihatnya sebagai hal yang dilakukan oleh laki-laki.
"Stereotipenya adalah bahwa para korban diculik, dibius, diperkosa, dipaksa tetapi itu belum tentu apa yang sebenarnya terjadi," katanya.
Penelitiannya, yang diterbitkan dalam Journal of Human Trafficking, menemukan banyak pelaku sebenarnya adalah perempuan yang telah diperdagangkan sebagai pekerja seks ke Australia. Dari semua kasus perdagangan manusia yang diselidiki oleh Kepolisian Federal Australia, hanya sedikit yang berakhir dengan pengadilan dan penuntutan yang berhasil. Ada 20 dakwaan perdagangan manusia di Australia antara tahun 2004 hingga 2017.
Baxter memelajari enam dari sembilan perempuan yang dihukum karena perdagangan manusia pada periode tersebut. Ia mengatakan, kisah dari banyak pelaku perempuan mengikuti pola yang sama.
"Mereka diharapkan untuk melayani klien pria, mereka tahu itu," katanya.
"Banyak yang datang dari latar belakang pekerja seks di negara asal mereka, yang adalah Thailand dalam banyak kasus."
"Mereka harus bekerja enam hari seminggu, semua penghasilannya dibayarkan untuk melunasi utang mereka. Jadi mereka tidak menerima uang yang datang ke klien-klien itu."
Ia mengatakan para pelaku akan memiliki uang yang ditambahkan ke utang mereka hanya untuk bisa makan.
"Mereka tidak memiliki paspor mereka sendiri, mereka tidak menerima uang dari klien, dan jika mereka membutuhkan uang untuk makanan, jumlah itu akan ditambahkan ke utang mereka," katanya.
"Begitu mereka membayar utang mereka, mereka kemudian bertahan di industri seks, menjadi germo dan membawa perempuan lain untuk kemudian dieksploitasi seperti mereka."
Jumlah korban perempuan tinggi
Baxter mengatakan ia menemukan bahwa hakim sering mengabaikan latar belakang perempuan, atau melihatnya sebagai alasan bagi mereka untuk lebih tahu. Ia mengatakan hakim sering mengatakan hal-hal seperti pelaku "seharusnya tahu" perilaku mereka salah, mengingat mereka pernah mengalaminya sendiri.
"Sangat sederhana untuk mengatakan 'anda seharusnya tahu lebih baik' dan 'anda harus memilih kehidupan yang jauh dari itu', tetapi seberapa realistis mereka bisa melakukan itu?," kata Baxter.
"Dalam situasi apapun yang menyinggung, latar belakang pelanggar atau pelaku akan sering menjadi alasan yang baik mengapa pelanggaran itu terjadi, ini diterapkan dalam penyalahgunaan narkoba, pelecehan seksual, dan kasus-kasus intimidasi."
Penelitiannya berpendapat bahwa prinsip-prinsip tersebut juga harus berlaku untuk latar belakang pelaku perdagangan manusia, yang seringkali memiliki kesempatan terbatas untuk meninggalkan dunia itu begitu utang kepada para penangkapnya terbayar.
"Dari mana mereka bebas?," kata Baxter.
"Ya, mereka tidak lagi memiliki utang. Gaya hidup itu dan kondisi-kondisi itu dan pekerjaan itulah yang mereka tahu."
"Mereka masih memiliki keterampilan bahasa Inggris yang terbatas dan keterampilan perdagangan yang terbatas."
Menurut Badan Narkoba dan Kejahatan PBB (UNODC), "hampir setiap" negara di dunia terkena dampak perdagangan manusia dengan ribuan pria, perempuan, dan anak-anak menjadi korban.
Associate Professor Flinders University dalam bidang Kriminologi, Marinella Marmo, mengatakan analisis studi kasus di Australia ini akan berdampak signifikan.
"Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menunjukkan minat untuk membuat profil tak hanya korban yang diperdagangkan tetapi juga pelanggar hukum," kata Dr Marmo.
"Statistik menunjukkan bahwa hampir 3 dari 10 pelaku perdagangan manusia adalah perempuan."
"Studi Baxter menunjukkan bahwa [sebuah] pendekatan pencegahan sosial yang lebih inklusif mungkin diperlukan untuk meminimalkan siklus korban-pelaku di bidang perdagangan manusia."
Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia