REPUBLIKA.CO.ID, ANTALYA -- Penyelesaian dua-negara adalah satu-satunya penyelesaian yang berkelanjutan dan berskala luas bagi konflik Palestina-Israel, Ahad (14/4). "Saya tak bermaksud mengatakan itu (penyelesaian dua-negara) sekarang memiliki prospek yang sangat jelas di wilayah ini," kata Kepala Pusat Kajian Stategis di Kementerian Luar Negeri Turki Ufuk Ulutas dalam satu pertemuan NATO di Antalya, di Laut Tengah Turki.
Menurutnya, solusi dua-negara tetap menjadi salah satu piihan terbaik untuk menemukan penyelesaian yang bertahan lama bagi konflik Palestina-Israel. Ulutas menyampaikan posisi Turki mengenai konflik Palestina-Israel, serta rintangan yang menghalangi perdamaian antara Israel dan Palestina dalam pertemuan tiga-hari NATO, yang berakhir pada Ahad (14/4).
Anggota Parlemen, pejabat militer, dan kepala misi luar negeri dari negara anggota NATO termasuk di antara peserta Seminar Rose-Roth ke-99 dan kelompok khusus Laut Tengah dan Timur Tengah Majelis Parlemen NATO. Parlemen Turki menjadi tuan rumah.
"Dalam setiap waktu mewujudkan perdamaian, upaya mencapai penyelesaian luas yang berkelanjutan bagi konflik Palestina-Israel, Turki menjadi penengah, fasilitator atau pendukung seluruh proses itu. Kami menyebut Turki pendukung kuat upaya mewujudkan perdamaian dalam konflik Arab-Israel," kata Ulutas.
Ia menambahkan seluruh proses untuk mewujudkan perdamaian, setidaknya upaya, dalam konflik Arab-Israel telah tercermin secara sangat positif dalam hubungan Turki-Israel.
Lima penghalang
Ulutas juga mengatakan ada lima penghalang dalam penyelesaian konflik antara Israel dan Palestina. Hal itu adalah kebijakan AS mengenai Timur Tengah terutama mengenai Palestina dan Israel, radikalisasi politik Israel, perpecahan regional di Timur Tengah dan dampaknya pada kebijakan ekonomi dan politik Palestina, bentrokan yang berlangsung di Palestina, dan kurangnya gagasan di kalangan masyarakat internasional.
"Unilateralisme AS adalah salah satu masalah yang sejauh ini telah kita hadapi dalam konflik Arab-Israel," ia menegaskan. Ia mencela tindakan Presiden AS Donald Trump memindahkan Kedutaan Besar AS ke Al-Quds (Yerusalem) dan pengakuannya atas Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah Israel.
Dengan tindakan ini, AS memilih menjadi bagian dari masalah bukan bagian dari penyelesaian masalah. Ulutas mengatakan kemunculan partai politik sayap-kanan mengarah kepada radikalisasi politik Israel dan memberi mereka kesempatan lebih besar untuk berbicara dalam politik Israel.
Pekan lalu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menang dalam pemilihan umum setelah janjinya mencaplok beberapa bagian Tepi Barat Sungai Jordan serta Dataran Tinggi Golan yang diduduki. "Beberapa bagian tertentu di dalam politik Israel memandang situasi saat ini di wilayah tersebut dan di dunai sebagai jendela kesempatan," kata Ulutas.
"Mereka memandang Pemerintah Presiden AS Donald Trump sebagai kesempatan baik untuk mendorong lebih kuat, menemukan lebih banyak wilayah di Palestina, menciptakan kenyataan mereka sendiri di lapangan, membuat terwujudnya perdamaian dan penyelesaian dua-negara jadi hampir tak mungkin," katanya.