REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Anak-anak teroris ISIS asal Australia Khaled Sharrouf yang kini berada dalam kamp pengungsi di Suriah menyatakan ingin pulang ke negaranya. Mereka mengaku bukanlah ancaman bagi masyarakat Australia.
Khaled dan dua anak laki-lakinya telah tewas beberapa tahun lalu. Kini anak perempuannya Zaynab (17 tahun) dan Hoda (15 tahun), serta anak laki-laki lainnya Humzeh (8 tahun) mendekam dalam kamp pengungsi al-Hawl. Anak-anak tersebut dibawa ke Suriah untuk bergabung dengan "kekhalifahan" ISIS oleh ibu mereka yang merupakan istri Khaled, Tara Nettleton, pada Februari 2014.
Saat program Four Corners ABC menemui mereka di tenda tempat tinggalnya, di sana ada pula seorang perempuan Australia lain bersama anaknya.
"Saya hanya ingin keluar dari sini," ujar Zaynab, yang sudah memiliki dua anak.
"Kami sudah lama ingin pulang, tapi kami takut," katanya.
Kini Zaynab sedang hamil tujuh setengah bulan dan didiagnosis menderita disentri dan anemia berat sejak tiba di al-Hawl tiga pekan lalu. Zaynab mengaku sudah lama ingin melarikan diri dari ISIS, tapi telah kabar tentang apa yang terjadi pada mereka yang pergi.
"Mereka pergi dan kabar mereka tak terdengar lagi," katanya.
"Orang diperkosa, disiksa. Mereka ditangkap. Itu sebabnya kami tak pernah bisa pergi," ujarnya.Photo: Humzeh Sharrouf (8 tahun) di kamp pengungsi al-Hawl Suriah. (ABC News: David Maguire)
Nenek anak-anak itu, Karen Nettleton, kini dalam misi ketiganya untuk memulangkan cucunya. Dua misi sebelumnya pada 2016 dan 2018 tidak membuahkan hasil.
Dia secara sporadis berkomunikasi dengan cucu-cucunya itu. Bahkan Hoda, katanya, kadang mempertaruhkan keselamatannya dan pergi ke kafe internet untuk berkomunikasi dengan neneknya.
Anak-anak tersebut mengaku sama sekali tidak tahu bahwa mereka akan pergi ke Suriah.
"Bukan kami yang memilih datang ke sini sejak awal. Kami ke sini dibawa oleh orangtua kami," ujar Zaynab.
Menurut dia, ibunya memberitahu hanya akan mengunjungi ayah mereka di Turki setelah masuk ke Suriah mereka baru diberitahu.
Sebuah perkiraan menyebutkan antara 3.700 dan 4.600 anak warga asing dibawa ke Suriah untuk bergabung ISIS. Sebanyak 730 anak lainnya terlahir di sana.
LSM Save the Children memperkirakan lebih dari 3.500 anak itu sekarang berada dalam tiga kamp pengungsi di Suriah. Tercatat 100 anak meninggal akibat kekurangan gizi dan hipotermia.
Setelah berada di Suriah, dua anak laki-laki tertua Khaled Sharrouf langsung mengikuti kamp pelatihan ISIS. Foto-foto keluarga tersebut menunjukkan mereka berpose dengan senjata dan bahkan anak tertua Khaled, Abdullah, pernah berfoto dengan memegang kepala terpenggal.
Tidak lama tiba di Suriah, Khaled Sharrouf mengawinkan anaknya Zaynab yang masih berusia 13 tahun, dengan jihadis ISIS asal Australia Mohamed Elomar. Pasangan itu memiliki satu anak. Elomar sendiri sudah terbunuh dalam serangan pesawat tanpa awak pada 2015.
Zaynab kemudian menikah lagi dan memiliki seorang anak. Kini Zaynab dalam kondisi sedang hamil.
Meskipun hidup di tengah kebrutalan ISIS selama bertahun-tahun, Zaynab dan saudara-saudaranya mengaku bukanlah risiko jika pulang ke Australia.
"Bagi saya dan anak-anak saya, kami ingin menjalani kehidupan normal seperti orang lain," katanya.
"Bukankah saya juga berhak untuk hidup normal?" ujar Zaynab.
Sementara Hoda sejak awal dia sudah ingin pergi dari sana tetapi tidak diizinkan.
"Saat ibu bilang kami berada di Suriah, saya mulai menangis. Saya selalu minta pulang," katanya.
"Saya pikir bisa keluar kapan saja, tetapi tidak bisa. Begitu kita masuk, kita terjebak," tambahnya.
Hoda menggambarkan hari-hari terakhir di Kota Baghouz, ketika pasukan Kurdi dan pesawat militer AS perlahan-lahan memusnahkan pertahanan terakhir ISIS itu. Keluarga itu tinggal di dalam parit perlindungan ketika terjadi tembak-menembak di sekitar mereka.
Saat gencatan senjata diumumkan, Hoda melarikan diri, berharap saudara-saudaranya akan mengikuti.
"Sangat sulit berjalan ke atas gunung," kata Hoda, yang tertembak kaki kirinya 18 bulan lalu.
Zaynab mengatakan pelarian tersebut merupakan perjalanan terburuk dalam hidupnya.
Dia menceritakan menghabiskan malam-malam dingin di padang pasir, bertemu tentara AS yang berjanji akan memperlakukan mereka dengan baik karena mereka orang Australia. Tapi mereka ditinggalkan di gurun tanpa selimut untuk anak-anaknya, Aisyah dan Fatimah. Barulah keesokan paginya mereka dibawa ke kamp pengungsi.
"Kami tak punya popok untuk Fatimah saat itu," katanya. "Dia kedinginan dan sakit."
"Saya merasa akan mati kedinginan, akan mati di truk ini bersama anak-anakku," ujar Zaynab.
Pemerintah Australia menegaskan tidak akan mengevakuasi anak-anak Australia yang keluarganya bergabung ISIS. Namun sang nenek Karen Nettleton diberitahu jika dia bisa mengeluarkan cucu-cucunya itu dari Suriah, pemerintah Australia akan membantu mereka pada titik itu.
Lihat artikel selengkapnya dalam bahasa Inggris di sini
Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.