REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Komite Palang Merah Internasional (ICRC) menyatakan, seorang perawat asal Selandia Baru yang telah diculik di Suriah selama lebih dari lima tahun kemungkinan masih hidup. ICRC mengungkapkan identitas perawat tersebut pertama kalinya sebagai upaya untuk mengamankan pembebasannya.
Louisa Akavi (62 tahun) bersama dengan dua rekannya yang berasal dari Suriah yakni Alaa Rajab dan Nabil Bakdounes telah disandera selama lebih dari lima tahun. Penyanderaan itu merupakan yang terlama dalam sejarah 156 tahun organisasi bantuan internasional berdiri.
ICRC belum menerima informasi tentang keberadaan Rajab dan Bakdounes sejak ketiganya diculik. Tetapi, ICRC terus menerima informasi sporadis tentang Akavi. Jatuhnya benteng terakhir ISIS di wilayah tersebut berpotensi meningkatkan risiko kehilangan jejak tiga orang yang disandera tersebut. Tetapi, di sisi lain juga meningkatkan harapan ada informasi tentang ketiganya.
"Kami berbicara hari ini untuk menghargai kesulitan dan penderitaan Louisa, Alaa, dan Nabil. Dan untuk meminta informasi apa pun mengenai petunjuk tentang keberadaan dan kesejahteraan mereka," ujar Direktur Operasi untuk ICRC, Dominik Stillhart dilansir The Guardian, Senin (15/4).
Stillhart mengatakan, keberadaan Akavi terakhir kali terlihat pada akhir 2018. Ketika itu, Akavi dikonfirmasi berada di dekat Sungai Efrat, di perbatasan Suriah-Irak. Informasi itu membuat ICRC optimistis bahwa Akavi masih hidup.
"Ini adalah informasi yang luar biasa untuk diterima, konfirmasi yang jelas dari lokasinya, bahwa dia masih hidup dan bahwa dia masih melakukan apa yang dilatih untuk dilakukan dan telah lama dilakukan yakni memberikan perawatan medis di zona konflik," kata Stillhart.
Akavi merupakan seorang perawat Palang Merah yang sangat berpengalaman dan tengah menjalankan misinya ke-17, ketika diculik bersama enam rekannya pada 13 Oktober 2013. Mereka diculik saat melakukan perjalanan dengan konvoi pengiriman tenaga medis ke Idlib. Pada hari berikutnya, empat orang dibebaskan.
New York Times melaporkan, di Raqqa, Akavi ditahan di fasilitas minyak bersama sejumlah tahanan barat lainnya. Dia berbagi sel dengan seorang relawan asal Amerika Serikat (AS) Kayla Mueller. Pada 2014, pasukan komando AS gagal untuk menyelamatkan Akavi dan Mueller. Hal itu memicu ancaman untuk mengeksekusi kedua perempuan itu.
Stillhart mengatakan, Palang Merah telah melakukan komunikasi aktif dengan ISIS pada tahun-tahun pertama penculikan Akavi. Tetapi, Palang Merah tidak dapat meyakinkan kelompok itu untuk membebaskannya.
"Kami mencoba menjangkau dan memengaruhi kepemimpinan (ISIS) dengan berbicara kepada para sheik di Eropa, Timur Tengah, dan Asia. Kami berbicara dengan tahanan di Timur Tengah yang mungkin bisa membimbing kami menuju informasi baru," ujar Stillhart.
Akavi bergabung dengan ICRC pada 1988, dan bekerja di sejumlah wilayah konflik termasuk Afghanistan, Bosnia, Irak, Somalia dan Sri Lanka. Pemerintah Selandia Baru juga tengah berupaya untuk menemukan Akavi. Menteri Luar Negeri Selandia Baru, Winston Peters mengatakan, pemerintah telah mengerahkan tim non-tempur yang berbasis di Irak sebanyak dua belas orang, termasuk personel operasi khusus.
"Tim non-tempur ini secara khusus berfokus untuk menemukan Louisa dan mengidentifikasi peluang untuk mengembalikannya," kata Peters dalam pernyataan melalui emailnya.
"Sayangnya keberadaan Louisa saat ini tidak diketahui. Namun, Pemerintah Selandia Baru terus bekerja tanpa lelah untuk menemukannya dan membawanya ke tempat yang aman," kata Peters.
Tenaga medis ICRC lainnya yakni Pawel Krzysiek tiba di Suriah sekitar enam bulan setelah penculikan Akavi. Kryzsiek mengatakan, konflik di Suriah terus berubah, sehingga sulit untuk mengetahui siapa yang menguasai wilayah.
"Konvoi medis kami dihentikan oleh orang-orang bersenjata dan bertopeng, dan menculik rekan-rekan. Siapa itu sebenarnya, apa alasan di baliknya, kita tidak benar-benar tahu," ujar Krzysiek.
Krzysiek mengatakan, Akavi telah disandera oleh sejumlah penculik yang berbeda. Akavi telah dipindahkan dari satu wilayah ke wilayah lain oleh kelompok berbeda.
"Pada dasarnya dipindahkan dari satu wilayah ke wilayah lain, dari satu kelompok pertahanan ke daerah lain sampai dia akhirnya ditahan oleh kelompok Negara Islam," kata Krzysiek.
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern menolak untuk menjawab pertanyaan tentang Akavi dalam konferensi pers kabinet mingguan. Dia mengatakan pemerintah percaya akan lebih baik jika kasus itu tidak berada dalam domain publik.