REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Lebih dari 100 aktivis perubahan iklim ditangkap setelah memblokir jalan di pusat kota London, dengan mendirikan kemah-kemah. Mereka memblokir Marble Arch, Oxford Circus, dan Jembatan Waterloo sebagai bentuk aksi protes untuk meminta pemerintah melakukan upaya lebih banyak dalam mengatasi perubahan iklim.
Aksi protes tersebut dipimpin oleh kelompok perubahan iklim Inggris, Extinction Rebellion dan diadakan di lebih dari 80 kota di 33 negara di seluruh dunia. Dilaporkan BBC, Selasa (16/4), dari total 113 orang yang ditangkap, lima di antaranya ditahan atas dugaan melakukan perusakan di markas besar Shell yang terletak di dekat Sungai Thames. Mereka memecahkan kaca dan kerugian akibat kerusakan tersebut mencapai 6.000 poundsterling.
Mayoritas aktivis yang ditangkap karena dicurigai telah melakukan pelanggaran ketertiban umum. Akibat blokade jalan tersebut, sejumlah rute bus umum dialihkan.
Kelompok Extinction Rebellion menyerukan kepada pemerintah untuk mengurangi emisi karbon menjadi nol pada 2025. Kelompok itu juga menuntut pemerintah mendeklarasikan darurat iklim dan ekologi, serta membuat majelis anggota masyarakat untuk mengambil keputusan dalam mengatasi perubahan iklim. Rencananya aksi protes ini akan dilakukan hingga 29 April 2019.
Di Oxford Circus, para pengunjuk rasa meluncurkan sebuah perahu berwarna merah muda yang bertuliskan "Tell The Truth". Sementara di Jembatan Waterloo, para pengunjuk rasa membawa pohon dan menggantung sejumlah keranjang. Aksi protes kali ini cukup ramai karena banyak keluarga yang hadir untuk menyaksikannya.
Polisi menyatakan, mulai pukul 17.55 GMT selama 24 jam, para pengunjuk rasa hanya diizinkan untuk berkumpul di Marble Arch, untuk mencegah gangguan serius yang berkelanjutan. Seorang fotografer Reuters menyatakan, polisi mulai menangkap para pengunjuk rasa di Jembatan Waterloo.
Extinction Rebellion telah menuliskan surat kepada Perdana Menteri Theresa May dan menguraikan tuntutannya. Selain itu, mereka juga meminta agar dapat berbicara empat mata dengan May dan memperingatkan bahwa aksi protes akan terus dilanjutkan hingga ada respons dari pemerintah.
“Di dunia mayoritas, komunitas adat sekarang berada di ambang kepunahan. Krisis ini hanya akan menjadi lebih buruk. Perdana Menteri, Anda tidak bisa mengabaikan krisis ini lagi. Kita harus bertindak sekarang," kata surat itu.
Seorang guru, Rowan McLaughlin (47 tahun) mengatakan, aksi protes tersebut lebih penting ketimbang protes pro dan anti-Brexit yang belum lama ini terjadi di London. Menurutnya, perubahan iklim dapat mengancam kelangsungan hidup manusia di masa depan.
"Di Eropa, maupun luar Eropa tidak ada bedanya jika kita tidak memiliki habitat yang layak huni. Kita akan bertindak lebih besar sampai pemerintah berbicara kepada kita," ujar McLaughlin.
Salah satu peserta aksi unjuk rasa, Diana McCann (66 tahun) tampak memegang spanduk di tengah jalan dengan tulisan, "It’s like a world war. We have to go on to a war footing." McCann merupakan seorang pensiunan pedagang anggur dari London selatan.
"Saya menyadari bahwa menandatangani petisi dan menulis surat saja tidak akan cukup. Tindakan nyata sangat diperlukan," kata McCann.