Rabu 17 Apr 2019 16:18 WIB

Palestina Tuntut Kemerdekaan dalam Rencana Perdamaian AS

Palestina menuntut kemerdekaan dan kedaulatan dalam rencana perdamaian dari AS.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Ilustrasi Bendera Israel dan Palestina
Ilustrasi Bendera Israel dan Palestina

REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH – Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh mengatakan tidak akan menerima rencana perdamaian dengan Israel yang digagas Amerika Serikat (AS) jika tak memenuhi tuntutan negaranya. Dalam hal ini, Palestina harus diakui kemerdekaan dan kedaulatannya berdasarkan perbatasan 1967.

Dalam wawancara perdananya dengan media internasional sejak menjabat akhir pekan lalu, Shtayyeh mengatakan bahwa setelah semua dukungan yang diberikan AS kepada Israel, terutama pengakuan sepihak atas Yerusalem, tak ada yang tersisa untuk dinegosiasikan. Dia menegaskan akan menolak setiap proposal perdamaian yang mengabaikan tuntutan utama Palestina.

Baca Juga

“Di mana kita akan memiliki negara Palestina? Kita tidak mencari entitas, kita mencari sebuah negara yang berdaulat,” kata Shtayyeh, dikutip laman the Times of Israel, Rabu (17/4).

Dia mengatakan Palestina tidak berminat pada penyelesaian konflik melalui jalur ekonomi. “Palestina tidak tertarik dalam perdamaian ekonomi. Kita tertarik pada penghentian pendudukan (Israel). Hidup tak bisa dinikmati di bawah pendudukan,” ujarnya.

Pada Ahad pekan lalu, Washington Post menerbitkan sebuah laporan yang menyebut bahwa rencana perdamaian AS untuk Timur Tengah, termasuk konflik Israel-Palestina, tidak akan menyertakan kemerdekaan Palestina. Laporan itu disusun dengan mengutip beberapa pejabat AS yang mengetahui tentang hal tersebut.

Karena tak menyertakan tentang kemerdekaan Palestina, sebagai gantinya AS akan melakukan investasi dan memberi sumbangan senilai puluhan miliar dolar AS untuk Tepi Barat serta Jalur Gaza. Mesir, Yordania, dan negara-negara Teluk yang kaya juga tak luput dari cipratan uang AS.

Kendati demikian, menurut pejabat yang dikutip Washington Post, Gedung Putih sangat menyadari bahwa ketika mereka hanya berfokus pada masalah ekonomi dan mengabaikan aspirasi politik, rencana perdamaian yang telah dirancang kemungkinan besar gagal. "Ini bukan perdamaian ekonomi. Kami menanggapi dengan sangat serius kedua aspek ini, politik, yang menangani semua masalah inti, dan ekonomi," kata pejabat tersebut.  

"Kami memahami bahwa jika aspek politiknya tidak solid, maka aspek ekonomi tidak ada artinya. Tapi pada saat yang sama, aspek politik tidak akan berhasil tanpa rencana ekonomi yang tepat," ujarnya menambahkan. 

Kemudian terkait kapan rencana perdamaian itu akan diumumkan, menurut pejabat tersebut, Gedung Putih masih mempertimbangkan berbagai faktor. "Penentuan waktu masih dilakukan dan belum ada keputusan yang dibuat saat ini mengenai kapan kami akan meluncurkannya," ucapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement