REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Liga Arab akan membayar 100 juta dolar AS per bulan kepada Otoritas Palestina (PA) untuk menutup kesenjangan, ketika Israel memblokir transfer pajak pada tahun ini. Hal itu dinyatakan oleh Liga Arab setelah pertemuan di Kairo, Mesir pada Ahad (21/4) lalu.
"Kami mengkonfirmasi bahwa negara-negara Arab akan mendukung anggaran Palestina, untuk memenuhi tekanan politik dan keuangan yang dihadapinya," ujar Liga Arab dalam pernyataan yang dikutip Aljazirah, Senin (22/4).
Israel mengumpulkan pajak atas nama PA, namun telah membekukan pembayaran transfer kepada Palestina sebesar 138 juta dolar AS pada Februari berdasarkan Perjanjian Oslo. Pembayaran tersebut ditujukan untuk tahanan Palestina yang dipenjara di Israel. PA melihat, pembayaran ini sebagai sebuah sistem kesejahteraan bagi keluarga yang kehilangan kepala keluarganya.
Israel mengumpulkan dana dari impor ke Tepi Barat dan Gaza, serta pajak lainnya. Israel mentransfer sejumlah dana ke PA setelah dikurangi pembayaran air dan listrik.
Pembekuan tersebut terjadi ketika Palestina menghadapi pemotongan anggaran yang cukup besar pada tahun lalu. Pemotongan dilakukan setelah Amerika Serikat (AS) memangkas dana untuk program pengungsi Palestina, UNRWA, dan program pembangunan di wilayah Palestina.
Selain itu, Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mengurangi layanannya karena kekurangan dana. Pengurangan pendanaan merupakan kemunduran besar bagi PA yang menghadapi kekurangan anggaran.
Langkah Liga Arab tersebut dilakukan ketika Presiden AS Donald Trump bersiap untuk menyingkap "Deal of the Century", yang banyak dipuji untuk perdamaian antara Palestina dan Israel dalam beberapa bulan mendatang. Pemimpin Palestina menyatakan tidak lagi mempercayai AS sebagai perantara yang jujur, setelah sejumlah langkah kontroversial yang diambil oleh Trump, di antaranya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Rencana perdamaian tersebut sedang dikembangkan oleh penasihat sekaligus menantu Trump, Jared Kushner yang memiliki hubungan dekat dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Rencana perdamaian tersebut hingga kini masih dirahasiakan. Namun, rencana itu telah meningkatkan kecurigaan Palestina.
Pada awal bulan ini, Washington Post melaporkan, kesepakatan perdamaian Timur Tengah tersebut tidak akan mencapuk kedaulatan Pakistan secara penuh. Kushner dan sejumlah pejabat AS lainnya memberikan kode bahwa salah satu poin yang tertuang dalam rencana tersebut yakni menghilangkan status kewarganegaraan, sebagai landasan awal upaya perdamaian.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas berpidato di hadapan Dewan Liga Arab pada Ahad lalu, sebagai bagian dari upaya diplomatik untuk menolak rencana perdamaian di Timur Tengah yang dicetuskan oleh Pemerintahan Trump. Menurutnya, Liga Arab harus terlibat aktif dalam hal ini.
"Orang-orang Arab harus terlibat aktif pada saat kritis ini," ujar Abbas.
Abbas mengatakan, Palestina menolak kesepakatan itu dan menuntut Israel untuk sepenuhnya menarik diri dari semua wilayah pendudukan. Israel merebut Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem timur dalam perang Timur Tengah pada 1967. Kemudian, pada 1980, Israel mengeluarkan undang-undang yang menyatakan bahwa Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang abadi dan tidak dapat dibagi.
Dewan Liga Arab menekankan bahwa, negara-negara Arab yang mendukung inisiatif perdamaian Arab pada 2002 harus dicapai sesuai dengan hukum dan legitimasi internasional berdasarkan pada prinsip 'tanah untuk perdamaian'. Mereka tidak menerima rencana atau kesepakatan apa pun yang tidak sejalan dengan referensi internasional tersebut.
Dewan Liga Arab juga menyatakan, rencana pemerintahan Trump tidak dapat mencapai perdamaian yang langgeng dan komprehensif di Timur Tengah, apabila tidak menjamin hak-hak rakyat Palestina. Hal itu terutama hak untuk menentukan nasib sendiri dan pembentukan negara Palestina yang merdeka serta berdaulat.