REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Legislator Iran menyetujui sebuah undang-undang yang menyebut pasukan militer Amerika Serikat (AS) sebagai 'teroris'. Keputusan itu diambil satu hari setelah AS mengumumkan bahwa negara-negara yang terus membeli minyak dari Iran akan mendapatkan sanksi dari negara adidaya tersebut.
Undang-undang baru ini disetujui oleh 173 dari total 215 legislator Iran dalam sidang parlemen yang diselenggarakan di Teheran pada Selasa (23/4). Hanya empat legislator yang menentang undang-undang itu, sedangkan sisanya memutuskan 'abstain' atau tidak memberikan suara.
Undang-undang itu menetapkan label 'teroris' kepada US Central Command (Centcom) dan semua pasukannya. Semua bentuk bantuan militer dan nonmiliter kepada Centcom yang dapat merugikan Pasukan Pengawal Revolusi Iran (IRGC) akan dianggap sebagai aksi terorisme.
Undang-undang itu juga menuntut pemerintah Iran untuk melakukan aksi menentang pemerintahan-pemerintahan yang secara formal mendukung AS. Beberapa pemerintahan yang diketahui menunjukkan dukungannya kepada pemerintahan Trump adalah Arab Saudi, Bahrain, dan Israel.
Sebagai tambahan, legislator juga meminta agensi intelijen Iran untuk menyediakan daftar semua komandan CENTCOM dalam waktu tiga bulan. Hal itu bertujuan agar pengadilan Iran dapat mengusut mereka secara 'in absentia' sebagai teroris.
Undang-undang itu membutuhkan persetujuan akhir dari pengawas konstitusi Iran agar bisa menjadi hukum secara sah. Hingga saat ini, masih belum diketahui dengan jelas apa dampak yang sebenarnya dimiliki oleh undang-undang ini selain menegaskan penolakan Iran.
Sebelumnya, pemerintah AS di bawah kepemimpinan Donald Trump mengumumkan bahwa mereka tak akan memperpanjang pembebasan sanksi bagi negara-negara yang mengimpor minyak Iran. Pengumuman itu disampaikan pada Senin (22/4) lalu. Pemerintahan Trump menyebut tindakan ini sebagai bagian dari kampanye 'tekanan maksimum' yang bertujuan untuk mengeliminasi pendapatan ekspor minyak Iran.
Menteri Luar Negeri Iran menolak tindakan Trump untuk menghentikan keringanan atas masalah minyak ini. "(Iran) pada dasarnya tidak pernah melihat dan tidak melihat nilai dan validitas untuk keringanan tersebut," ungkap Menteri Luar Negeri Iran seperti dilansir Aljazirah.
Lalu pada Selasa (23/4) sidang parlemen digelar di Teheran untuk undang-undang baru yang menyebut pasukan militer AS sebagai teroris. Undang-undang itu disetujui oleh sebagian besar legislator.
Itu bukan kali pertama legislator Iran menyetujui sebuah undang-undang yang menyebut pasukan militer AS sebagai teroris. Minggu lalu, legislator Iran juga menyetujui sebuah undang-undang yang menyebut tentara AS di Timur Tengah sebagai teroris.
Keputusan yang diambil oleh legislator Iran ini merupakan respons atas tindakan AS. Sebelumnya, AS lebih dulu menyebut IRGC milik Iran sebagai kelompok teroris.