REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Menteri Pertahanan Iran, Brigadir Jenderal Amir Hatami, menyebut dunia saat ini menghadapi masalah Trumpisme. Ucapan ini ia sampaikan saat tiba di Moskow, Rusia, Selasa (23/4) waktu setempat, untuk menghadiri konferensi keamanan internasional.
"Dunia hari ini menghadapi banyak masalah keamanan. Yang paling penting mungkin adalah Trumpisme," kata Hatami seperti dilansir dari Sputnik News, Rabu (24/4).
Hatami dalam kesempatan itu juga memperingatkan adanya risiko yang dapat ditimbulkan akibat kebijakan Presiden AS Donald Trump terhadap keamanan global. Bahkan dia juga membandingkan Trumpisme dengan Nazisme karena memiliki kesamaan.
"Ada sifat-sifat yang serupa, seperti keegoisan, penindasan, dan menginjak-injak hukum internasional serta prinsip-prinsip kemanusiaan," tandasnya.
Iran dan AS kerap saling melempar tuduhan sejak Trump menjabat Presiden. Iran menuduh AS mengirim militernya ke Timur Tengah dan AS menuduh Iran melakukan terorisme yang disponsori negara. Parlemen Iran menganggap Komando Pusat AS sebagai organisasi teroris. Sedangkan AS melabeli pasukan paramiliter Iran sebagai kelompok teror.
AS terus berupaya tanpa henti menekan Iran. Terbaru, AS mengumumkan keputusan mengakhiri pengecualian sanksi bagi negara-negara yang membeli minyak Iran. Ini dilakukan sebagai usahanya menekan Iran secara maksimal dengan tujuan membuat pendapatan Iran dari minyak menurun sampai nol.
Pemerintah AS menyebutkan bahwa pengecualian sanksi itu akan berakhir pada 2 Mei mendatang. Tanggal berakhirnya ini tepat setahun setelah Presiden AS Donald Trump secara sepihak menarik diri dari kesepakatan nuklir.
Ada delapan negara pengimpor minyak Iran yang mendapat pengecualian sanksi selama ini. Delapan negara itu adalah Turki, Cina, Yunani, India, Italia, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Turki mengecam langkah AS mengakhiri keringanan sementara ini karena membahayakan rakyat Iran dan justru menutup ruang perdamaian.
November 2018 lalu, Presiden AS Donald Trump memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran sebagai negara eksportir minyak. Ini dilakukan setelah AS menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran 2015. Alasan penarikan diri karena menganggap kesepakatan itu tidak membuat Iran menghentikan pengembangan misilnya.
Pemerintah AS kemudian memberikan pengecualian sanksi selama 180 hari, yang disebut Pengecualian Pengurangan Signifikan (SRE). SRE diberikan kepada delapan negara untuk membantu mereka menghentikan pasokan minyak Iran.