Sabtu 27 Apr 2019 08:57 WIB

Kekurangan Listrik di Kamboja Lumpuhkan Pengusaha Kecil

Warga Kamboja merasakan hidup tanpa listrik hingga lima jam setiap hari

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Christiyaningsih
Bendera Kamboja (Ilustrasi)
Bendera Kamboja (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, PHNOM PENH -- Suasana panas dan lembab terasa di KT Beauty, sebuah salon milik Morn Sokunthea. Kursi merah-hitam yang ada di tempat usahanya ini kosong. Kipas angin tidak berfungsi dan lampu tidak menyala. Seharian ini, ia belum melihat pelanggan dan ia berharap hal tersebut tak berlangsung lama.

"Tanpa listrik, aku tidak bisa mengeringkan rambut setelah mencucinya. Make-up juga tidak akan berhasil karena cuaca yang panas dan kipas yang tidak berfungsi. Pelanggan akan berkeringat dan make-up akan luntur," ujar Sokunthea dilansir DW, Sabtu (27/4).

Baca Juga

Sokunthea merupakan salah satu dari banyak pemilik usaha kecil di ibu kota Kamboja, Phnom Penh, yang mengalami dampak dari krisis listrik yang sedang berlangsung. Selama hampir sebulan pemasok listrik Kamboja, Electricite Du Cambodge (EDC), berhenti memasok listrik ke sebagian besar negara itu. Pihaknya memberi alasan tidak dapat memenuhi permintaan yang tinggi.

Bagi banyak orang di ibu kota ini, mereka harus merasakan hidup tanpa listrik hingga lima jam setiap hari. Pemerintah menyalahkan El Nino, fenomena cuaca yang membawa cuaca panas dan kering ke beberapa bagian Asia Tenggara.

Akibat dari fenomena ini, pembangkit listrik tenaga air Kamboja belum mampu menghasilkan listrik yang cukup. Pemadaman listrik diperkirakan berlanjut sampai akhir Mei saat diprediksikan awal musim hujan terjadi.

Konsumsi listrik di Kamboja mengalami peningkatan secara signifikan selama beberapa dekade terakhir. Pada 2005, konsumsi listrik per kapita adalah 66 kilowatt-jam (kWh), yang meningkat menjadi 400 kWh pada tahun 2015. Pada 2016, Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan pada tahun 2020, penggunaan daya tahunan akan tumbuh sebesar 9,4 persen.

Pada saat yang sama, semakin banyak orang Kamboja yang terhubung ke jaringan listrik. Tahun lalu, hampir 90 persen populasi negara itu menggunakan setidaknya empat jam listrik per hari. Setiap bulannya, gedung apartemen, toko, dan hotel baru dibangun dan semuanya membutuhkan listrik.

Pemerintah Kamboja mengatakan akan membeli lebih banyak listrik dari Thailand dan Laos. Para pejabat juga membuat kesepakatan dengan Turki untuk mendatangkan sebuah kapal listrik berkekuatan 200 megawatt. Tetapi dari laporan Khmer Times, perjanjian itu dibatalkan setelah diketahui kapal akan memakan waktu terlalu lama untuk sampai di Kamboja.

Dampak ekonomi dari pemadaman listrik reguler ini bisa sangat besar. Pemilik usaha kecil seperti Sokunthea menyebut pendapatan mereka mengalami penurunan. Bagi bisnis besar, seperti ratusan pabrik garmen di sekitar Phnom Penh, mungkin memiliki sarana untuk membeli generator yang mahal. Tetapi menggunakan generator akan menambah biaya mereka.

Direktur Jaringan Afiliasi untuk Akuntabilitas Sosial Kamboja, San Chey, mengatakan pemadaman listrik akan berdampak serius pada usaha kecil. "Pelanggan akan meninggalkan kafe atau bahkan tidak pergi ke sana ketika listrik terputus," kata Chey. Afiliasi ini merupakan sebuah organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan tata kelola pemerintah lokal.

Kekurangan sumber daya listrik juga menambah perdebatan tentang tenaga listrik tenaga air yang saat ini menjadi sumber lebih dari 42 persen listrik di Kamboja. Pemerintah ingin membangun lebih banyak bendungan listrik tenaga air tetapi ini sangat kontroversial. Pakar lingkungan mengatakan bendungan dapat merusak ekosistem Kamboja.

Chey percaya tenaga air bukanlah solusi. Tetapi jika tidak ada tindakan yang diambil, kekurangan listrik akan terus berlanjut. "Tenaga surya akan jauh lebih membantu. Kami ingin pemerintah berinvestasi dalam hal ini daripada menciptakan bendungan tenaga air baru yang dapat memengaruhi lingkungan dan menyebabkan lebih banyak deforestasi," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement