Selasa 30 Apr 2019 16:13 WIB

Menimbang Dampak Ekonomi Pemindahan Ibu Kota

Dampak ekonomi pemindahan ibu kota dinilai hanya berjangka pendek.

Red: Nur Aini
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro memberikan keterangan kepada pers mengenai pembahasan rencana pemindahan ibukota negara di Jakarta, Selasa (30/4/2019).
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro memberikan keterangan kepada pers mengenai pembahasan rencana pemindahan ibukota negara di Jakarta, Selasa (30/4/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden RI Joko Widodo kembali membahas rencana pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta, pada Senin (29/4). Di sisi lain, pengamat ekonomi menilai dampak positif yang dirasakan daerah baru hanya akan berlangsung dalam jangka pendek.

Pemerintah juga diingatkan untuk tidak membiayai pemindahan ibu kota dari utang.

Baca Juga

Dalam rapat terbatas (ratas) bersama jajaran terkait di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Presiden Jokowi membahas langkah-langkah yang perlu diambil terkait rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta.

"Gagasan untuk pemindahan ibu kota ini sudah lama sekali muncul, sejak era Presiden Soekarno. Di setiap era presiden pasti muncul gagasan itu. Tapi wacana ini timbul-tenggelam karena tidak pernah diputuskan dan dijalankan secara terencana dan matang," kata Presiden di awal ratas.

Rencana pemindahan ibu kota tercetus menimbang peluang Indonesia menjadi negara maju dan kompetisi global yang semakin ketat. Kemampuan Jakarta untuk menjadi dua pusat penting Nusantara, ujar Presiden Indonesia ke-7 itu, harus dipikirkan kembali secara matang.

"Ketika kita sepakat akan menuju negara maju, pertanyaan pertama yang harus dijawab adalah apakah di masa yang akan datang DKI Jakarta sebagai ibu kota negara mampu memikul dua beban sekaligus, yaitu sebagai pusat pemerintahan dan layanan publik sekaligus pusat bisnis," kata Jokowi.

Presiden lantas mencontohkan beberapa negara yang dianggapnya telah memiliki pemikiran maju.

"Saya kira contohnya banyak sekali baik Malaysia, Korea Selatan, Brasil, Kazakhstan, dan lain-lain. Sekali lagi, kita ingin berpikir visioner untuk kemajuan negara ini."

Di sisi lain, Jokowi juga menyadari bahwa pemindahan ibu kota merupakan proses yang panjang dan membutuhkan biaya besar.

Berbagai persiapan seperti pemilihan lokasi yang tepat, pertimbangan aspek geopolitik, geostrategis, serta kesiapan infrastruktur pendukung harus dibahas terperinci.

"Tapi saya meyakini, insyaallah kalau dari awal kita persiapkan dengan baik maka gagasan besar ini akan bisa kita wujudkan," ujar Jokowi yakin.

Menanggapi rencana pemindahan ibukota ini, pengamat ekonomi dari Indef (Institute for Development of Economics and Finance) -Bhima Yudhistira Adhinegara, sepakat bahwa gagasan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

"Pemindahan ibu kota dalam jangka panjang, cost (biaya)-nya memang sangat besar dan kalau ini membebani APBN, maupun APBD dengan kondisi anggaran yang sekarang masih defisit, saya khawatir utang kita akan semakin banyak," kata ekonom lulusan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini kepada ABC.

"Dan itu menjadi kurang produktif," sambungnya.

Sementara dari sisi anggaran belanja pemerintah, Bhima menilai jika rencana pemindahan itu terealisasi maka akan terjadi pembengkakan anggaran yang sangat besar pada 2020.

Ia juga memeringatkan agar pembangunan ibu kota baru itu tidak bersumber dari utang.

"Karena kalau pembangunannya dari utang, terutama karena sekarang kita bayar utang dengan bunga yang cukup mahal, tertinggi se-Asia Pasifik, di atas 7-8 persen, maka ini akan bisa menjadikan ruang fiskal semakin sempit."

Ekonom tersebut mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk tidak terburu-buru dalam mewujudkan rencana pemindahan ibu kota. Menurut Bhima, pemindahan ibu kota bukannya tidak memiliki dampak positif terhadap perekonomian. Namun, sebutnya, hal itu hanya bersifat jangka pendek.

"Plus-nya ya salah satunya bisa memunculkan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru."

"Karena ketika pindah, maka ada proyek konstruksi di situ yang bisa melibatkan warga lokal atau tenaga kerja lokal, bahan bakunya juga kemudian dari lokal," ujarnya.

Pertumbuhan ekonomi yang diciptakan itu lebih banyak mengarah ke pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari Pemerintah.

"Padahal kita tahu porsi belanja Pemerintah terhadap produk domestik bruto itu hanya sekitar 9 persen."

"Sementara kalau kita bicara hanya dengan 9 persen, artinya porsi pertumbuhan ekonomi yang diciptakan Pemerintah tidak signifikan."

"Paling signifikan kan sebagian besar dari swasta. Dalam hal pembukaan industri misalkan," tutur Bhima kepada ABC.

Ia menekankan bahwa ibu kota yang berpindah tidak menjamin adanya perpindahan kawasan industri.

"Jadi belum tentu ada korelasi ke sana. Makanya tadi saya bilang, efek positifnya hanya bersifat jangka pendek. "

"Sementara untuk jangka panjang, solusinya bukan pindah ibu kota."

Ada dampak lain yang muncul dari rencana pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta.

"Yang saya khawatirkan dengan pemindahan ibu kota, banyak mafia-mafia tanah dan calo-calo tanah yang bermain. Dan mereka ini bermain dengan spekulasi-spekulasi tanah sehingga harga tanahnya akan menjadi lebih mahal."

Jika hal itu terjadi, Bhima memprediksi masyarakat di sekitar ibu kota baru akan dirugikan dan kondisi itu akan turut menciptakan inflasi.

Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2019-04-30/dampak-ekonomi-pemindahan-ibukota-indonesia-dari-jakarta/11056624
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement