Jumat 03 May 2019 09:11 WIB

Kasus Pelecehan Seksual di Militer AS Meningkat

Pelaku pelecehan sesual diminta untuk dikriminalisasi.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Dwi Murdaningsih
Ilustrasi Pelecehan Seksual. (Republika/Prayogi)
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Pelecehan Seksual. (Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Kasus kekerasan dan pelecehan seksual dalam militer Amerika Serikat (AS) melonjak. Data menunjukkan terdapat 20.500 kasus pelecehan seksual pada 2018. Jumlah tersebut naik dari 14.900 pada 2016. 

Plt Menteri Pertahanan AS Patrick Shanahan meminta agar pelaku pelecehan seksual dikriminalisasi. Pelecehan seksual dapat dijatuhkan ke dalam pelanggaran hukum lainnya terhadap perilaku militer, tetapi belum merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. 

Baca Juga

Arahan dari Shanahan merupakan salah satu di antara serangkaian rekomendasi lain, yang dirilis dalam sebuah memo pada Kamis (2/5) lalu. 

"Serangan seksual adalah ilegal dan tidak bermoral, tidak konsisten dengan misi militer dan tidak akan ditoleransi," tulis Shanahan dalam memo, seperti dilansir BBC, Jumat (3/5). 

Shanahan mengungkapkan beberapa rekomendasi dibuat oleh Sexual Assault Accountability and Investigation Task Force, yang dibentuk bulan lalu setelah desakan Senator Martha McSally. Senator McSally, yang merupakan pilot pesawat tempur wanita AS pertama yang terbang dalam pertempuran, pada Maret lalu mengungkapkan bahwa dia telah diperkosa oleh seorang perwira atasan saat bertugas di Angkatan Udara.

Menanggapi laporan itu, Shanahan mengarahkan Departemen Pertahanan AS mengkriminalisasi pelaku pelecehan seksual untuk memerangi momok ini. Dia merinci upaya pencegahan, pertanggungjawaban dan dukungan untuk menghilangkan kekerasan seksual, termasuk metode baru untuk mengidentifikasi pelanggar berulang.

"Kita harus, dan akan, berbuat lebih baik," tulis Shanahan dalam memo itu.

Dalam memonya, Shanahan juga mengumumkan rencana melatih komandan dalam program baru untuk mengungkap pelaku kejahatan seksual berantai. "Terus terang, kami tidak melakukan dengan standar dan harapan yang kami miliki untuk diri kita sendiri atau untuk satu sama lain," katanya.

Di AS, pelecehan seksual adalah ilegal, dan dianggap sebagai bentuk diskriminasi seksual berdasarkan Judul VII Undang-Undang Hak Sipil, yang juga mencakup diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, agama, dan asal kebangsaan.

Laporan yang dirilis pada Kamis lalu mensurvei Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Marinir. Laporan tersebut memperkirakan kasus pelecehan seksual mencapai 20.500 kasus pada 2018. Survei tersebut dilakukan melalui jajak pendapat yang melibatkan lebih dari 100 ribu tentara. 

Para peneliti mengatakan survei itu memiliki tingkat kepercayaan 95 persen. Insiden kontak seksual yang tidak diinginkan meningkat sekitar 38 persen antara 2016 dan 2018. Hanya satu dari tiga kasus yang dilaporkan kepada pihak berwenang. Sedangkan, pada 2006 hanya satu dari 14 korban yang melaporkan kejahatan pelecehan seksual.

Dalam sebuah pernyataan, Marinir mengakui bahwa mereka secara historis melihat peningkatan pelaporan. Hal ini sebagai indikator bahwa Marinir merasa lebih diberdayakan untuk melaporkan dan lebih percaya diri dalam perawatan yang diterima korban. 

"Namun, dengan jumlah serangan yang diperkirakan meningkat, terutama di antara para marinir muda kita, Korps Marinir harus mengembangkan metode pencegahannya dan terus mengembangkan iklim dan budaya martabat, rasa hormat dan kepercayaan," kata pernyataan itu. 

Dalam serangkaian tweetnya, Jenderal Robert B. Neller, perwira berpangkat tertinggi di Korps Marinir AS, ikut mengecam perilaku pelecehan seksual. Menurut laporan itu, Marinir memiliki tingkat serangan seksual tertinggi di seluruh Angkatan Bersenjata AS yakni sebesar 11 persen.

"Marinir tahu bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan. Kami lebih baik dari ini," kata Neller. 

Lebih dari 85 persen kasus, korban mengenal penyerang mereka. Sebagian besar kasus melibatkan wanita muda yang pelakunya seringkali adalah perwira atasan.

"Inilah yang memberi tahu kita bahwa ada sesuatu yang perlu kita asah. Kami memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk wanita berusia 17 hingga 24 tahun. Kami akan sangat fokus pada hal itu," ujar Wakil Direktur Departemen Pencegahan dan Penanganan Serangan Seksual Departemen Pertahanan, Nate Galbreath.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement