REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan akan mencegah Iran memperoleh senjata nuklir. Hal tersebut dia utarakan beberapa jam setelah Teheran mengumumkan akan meningkatkan aktivitas pengayaan uraniumnya.
“Kami tidak akan membiarkan Iran memperoleh senjata nuklir,” kata Netanyahu pada upacara resmi untuk menandai hari peringatan konflik Gaza 2014 yang diselenggarakan di pemakaman militer Mountn Herzl di Yerusalem, Rabu (8/5), dikutip laman the Times of Israel.
Sebelumnya, Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan bahwa negaranya akan mempertahankan kelebihan uranium. Ia menetapkan batas waktu selama 60 hari untuk persyaratan baru perjanjian nuklirnya.
Rouhani mengatakan negaranya ingin menegosiasikan persyaratan baru dengan mitra yang tersisa dalam kesepakatan nuklir Iran. Meskipun, dia mengakui bahwa situasinya mengerikan.
“Jika kelima negara bergabung dalam negosasi dan membantu Iran untuk mencapai manfaatnya di bidang minyak dan perbankan, Iran akan kembali ke komitmennya sesuai dengan kesepakatan nuklir,” ujar Rouhani.
Pada Rabu lalu, Iran mengirim surat tentang rencana pengunduran diri kepada negara-negara anggota kesepakatan nuklir Iran. Surat-surat tersebut diberikan kepada Cina, Uni Eropa, Prancis, Jerman, dan Rusia.
Merespons surat tersebut, Cina meminta semua pihak untuk menegakkan ketentuan kesepakatan nuklir Iran.
“Kami menyerukan semua pihak yang relevan untuk menahan diri, memperkuat dialog, dan menghindari meningkatnya ketegangan,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Geng Shuang seraya menambahkan bahwa Cina dengan tegas menentang sanksi Amerika Serikat (AS) sepihak terhadap Iran.
Kesepakatan nuklir Iran atau dikenal dengan istilah Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) disepakati pada Oktober 2015. Kesepatan tersebut dicapai melalui negosiasi yang panjang dan alot antara Iran dengan Amerika Serikat (AS), Cina, Rusia, Jerman, Prancis, Inggris, dan Uni Eropa. Inti dari JCPOA adalah memastikan bahwa penggunaan nuklir Iran terbatas untuk kepentingan sipil, bukan militer. Sebagai imbalannya, sanksi ekonomi Iran akan dicabut.
Pada Mei tahun lalu, Presiden AS Donald Trump memutuskan menarik negaranya dari JCPOA. Dia mengaku tak puas atas poin-poin yang termaktub dalam kesepakatan tersebut.
Trump menyebut JCPOA cacat karena tak mengatur tentang program rudal balistik Iran, kegiatan nuklirnya selepas 2025, dan perannya dalam konflik Yaman serta Suriah. Setelah keluar dari JCPOA, Washington memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran. Sanksi itu membidik sektor energi, otomotif, keuangan, dan perdagangan logam mulia Iran.