REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA — Parlemen Singapura telah mengeluarkan Rancangan Undang-undang (RUU) mengenai berita palsu pada Rabu (8/5). RUU ini dikeluarkan meski adanya kekhawatiran secara khusus dari para jurnalis, akademisi, dan perusahaan teknologi global mengenai kebebasan berbicara dan adanya penyalahgunaan kekuasaan.
Legislator Singapura memilh untuk memberi pemerintah kekuatan yang lebih luas dalam menangani masalah berita palsu. Seperti halnya menghapus konten, serta memblokir situs web yang dianggap menyebarkan kebohongan atau bertentangan dengan kepentingan publik. Ancaman hukuman bagi mereka yang melanggarnya adalah denda mencapai 1 juta dolar Singapura dan penjara hingga 10 tahun.
Individu maupun sebuah portal web yang terindikasi menyebarkan berita palsu diminta untuk memperbaiki atau menghapus konten yang mereka buat. Mereka kemudian dapat mengajukan permohonan kepada menteri untuk membatalkan tuntutan. Namun, jika ditolak maka mereka harus menghadapi pesidangan.
Sejumlah kritikus telah menilai undang-undang tersebut nantinya dapat memberi kekuasaan sewenang-wenang pada pejabat pemerintah, untuk menentukan apa yang dianggap sebagai fakta. Hal itu membuat, situs-situs yang dapat memeriksa berita harus lebih waspada, seperti Google, Facebook, dan Twitter.
Diperlukan juga peningkatan literasi media untuk membantu konsumen berita dapat membedakan apa yang menjadi fakta dan tidak. Sejumlah kritikus mengatakan bahwa undang-undang berita palsu di Singapura ini pada akhirnya membuat pejabat pemerintah memiliki kekuatan sewenang-wenang dan menahan kebebasan berbicara, setelah berada di peringkat 151 dari 180 dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia berdasar catatan Reporters Without Borders.
Menteri Hukum dan Dalam Negeri Singapura K Shanmugam mengatakan bahwa tak akan ada dampak mengerikan dari undang-undang tersebut seperti yang dikhawatirkan banyak orang. Langkah dibuatnya RUU tentang berita palsu itu justru dapat memberantas berbagai masalah yang sering ada di era digital saat ini, termasuk akun-akun palsu.
Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong juga mengatakan bahwatelah diperlukan upaya memerangi adanya ujaran kebencian secara daring dan berita palsu. Saat ini menurutnya sangatlah mudah bagi orang-orang untuk melakukan kampanye rahasia dan subversif dengan memanipulasi opini.
Asia Internet Coalition, sebuah asosiasi industri yang anggotanya termasuk Facebook, Google dan Twitter, menyerukan lebih banyak perlindungan dalam RUU ini. Dalam sebuah pernyataan, pihaknya mengatakan bahwa konsensus yang luar biasa adalah undang-undang tentang berita palsu itu akan berdampak pada kebebasan berekspresi dan membatasi hak-hak individu di Singapura untuk mengekspresikan pendapat secara bebas dan berpartisipasi dalam diskusi yang diinformasikan.
“Bahkan debat yang diperlukan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas eksekutif,” ujar Asia Internet Coalition dilansir Aljazirah, Kamis (9/5).
Sementara itu, kekhawatiran juga datang dari masyarakat secara luas kepada pemerintah. Salah satunya adalah karena undang-undang tentang berita palsu itu diyakini dapat membuat Partai Aksi Rakyat sebagai satu-satunya partai yang berkuasa di Singapura sejak 1959, untuk melakukan sensor diri dan mengintimidasi para pembangkang.
“Ada kekhawatiran yang sesungguhnya di kalangan publik bahwa RUU ini dapat dengan mudah disalahgunakan,” ujar pemimpin oposisi parlemen Singapura, Pritam Singh.