Kamis 09 May 2019 15:10 WIB

Google Tolak Undang-Undang Singapura tentang Berita Palsu

Rencana Singapura atur berita palsu dikritik dapat mengekang kebebasan berpendapat.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Google
Foto: EPA
Google

REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Google menyatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai berita palsu yang dikeluarkan oleh parlemen Singapura dapat menghambat inovasi industri teknologi. Rancangan UU tersebut dikritik oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia, jurnalis, dan perusahaan teknologi karena dikhawatirkan dapat digunakan untuk mengekang kebebasan berbicara serta berpendapat. 

"Kami tetap khawatir bahwa undang-undang ini akan merusak inovasi dan pertumbuhan ekosistem informasi digital. Bagaimana undang-undang itu diimplementasikan itu penting, dan kami berkomitmen untuk bekerja sama dengan pembuat kebijakan dalam proses ini," ujar Google dalam pernyataan kepada Reuters, Kamis (9/5).

Baca Juga

Undang-undang tersebut akan mewajibkan platform media online untuk melakukan koreksi atau menghapus konten yang dianggap palsu oleh pemerintah. Hukuman bagi pelakunya yakni penjara hingga 10 tahun atau denda hingga 1 juta dolar Singapura atau 735 ribu dolar AS.  

Wakil Presiden Facebook untuk Asia Pasifik, Simon Milner mengatakan, Facebook berharap dalam praktiknya undang-undang tersebut mengarah pada pendekatan yang proporsional dan terukur. 

"Kami tetap peduli dengan aspek undang-undang baru yang memberikan kekuasaan luas kepada cabang eksekutif Singapura untuk memaksa kami menghapus konten yang mereka anggap salah, dan mendorong pemberitahuan pemerintah kepada pengguna," kata Milner.

Legislator Singapura memilih untuk memberi pemerintah kekuatan yang lebih luas dalam menangani masalah berita palsu. Seperti halnya menghapus konten, serta memblokir situs web yang dianggap menyebarkan kebohongan atau bertentangan dengan kepentingan publik. 

Menteri Hukum dan Dalam Negeri Singapura K Shanmugam mengatakan bahwa tak akan ada dampak mengerikan dari undang-undang tersebut seperti yang dikhawatirkan banyak orang. Langkah dibuatnya RUU tentang berita palsu itu justru dapat memberantas berbagai masalah yang sering ada di era digital saat ini, termasuk akun-akun palsu. Singapura rentan terhadap berita palsu karena posisinya sebagai pusat keuangan global, populasi etnis dan agama yang beragam, serta akses internet yang luas.

Wakil Direktur Asia untuk Human Rights Watch, Phil Robertson mengatakan, para aktivis khawatir undang-undang tersebut dapat memberikan kekuatan pemerintah untuk memutuskan apakah materi yang diunggah secara online benar atau salah. Hal itu dapat berdampak pada kebebasan penggunaan internet di Asia Tenggara. 

"Para pemimpin Singapura telah membuat undang-undang yang akan berdampak buruk pada kebebasan internet di seluruh Asia Tenggara. (Undang-undang itu) kemungkinan akan memulai serangkaian perang informasi baru ketika mereka mencoba untuk memaksakan 'kebenaran' versi sempit di dunia yang lebih luas," kata Robertson. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement