REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, pada Rabu (8/5) lalu, memerintahkan penerapan sanksi baru terhadap Iran. Sanksi kali ini membidik sektor industri logam Teheran.
“Tindakan hari ini menargetkan pendapatan Iran dari ekspor logam industri, 10 persen dari ekonomi ekspornya, dan membuat negara-negara lain memperhatikan bahwa mengizinkan baja Iran serta logam lain ke pelabuhan Anda tidak akan ditoleansi lagi,” kata Trump dalam sebuah pernyataan. Sanksi tersebut mencakup produk besi, baja, aluminium, dan tembaga.
Dia mendesak Iran agar segera mengubah kebijakannya, terutama terkait program rudal dan nuklirnya. “Teheran dapat mengharapkan tindakan lebih lanjut kecuali secara fundamental mengubah perilakunya,” ujarnya.
Pengumuman sanksi terbaru terhadap Iran dilakukan bertepatan dengan peringatan keputusan AS menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran atau dikenal dengan istilah Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Langkah itu diambil Trump pada Mei tahun lalu.
Asisten khusus presiden AS dan direktur senior untuk senjata pemusnah massal Tim Morrison mengungkapkan, Iran tak menaati beberapa elemen dari JCPOA. “Sekarang adalah waktunya bagi komunitas negara-negara mengecam keras kesalahan nuklir Iran dan meningkatkan tekanan pada rezim untuk mematuhi tuntutan AS,” ucapnya.
Dia mengatakan AS akan bertindak cepat untuk menghalau upaya negara-negara Eropa melemahkan tekanan sanksi negaranya terhadap Iran. Dalam hal ini, Morrison menyoroti tentang Kendaraan Tujuan Khusus (Special Purpose Vehicle/SPV) yang digunakan untuk memfasilitasi perdagangan nondolar guna menghindari sanksi Washington.
“Jika Anda adalah bank, investor, perusahaan asuransi, atau bisnis lain di Eropa, Anda harus tahu bahwa terlibat dalam SPV adalah keputusan bisnis yang sangat buruk,” ujar Morrison.
Menurut utusan khusus AS untuk Iran Brian Hook dibandingkan tahun lalu, saat ini lebih banyak negara yang setuju dengan cara bersikap AS terhadap Teheran. “Kami telah membuat fokus isolasi diplomatik dan tekanan ekonomi dan kebijakan itu berhasil,” kata dia.
Dalam 60 hari, jika tak ada kesepakatan baru, Iran akan meningkatkan pengayaan uraniumnya di luar 3,67 persen yang diizinkan dan dapat memicu pembangkit listrik tenaga nuklir komersial. Rouhani tak mengatakan seberapa jauh negaranya ingin memperkaya uraniumnya.
Namun kepala program nuklir Iran menegaskan bahwa negaranya mampu mencapai pengayaan 20 persen dalam waktu empat hari. Setelah sebuah negara memperkaya uranium menjadi sekitar 20 persen, para ilmuwan mengatakan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai ambang batas 90 persen untuk uranium tingkat senjata berkurang setengahnya.
Iran telah memberitahu Inggris, Rusia, Cina, Uni Eropa, Prancis, dan Jerman tentang keputusannya. “Jika kelima negara bergabung dealam negosiasi dan membantu Iran untuk mencapai manfaatnya di bidang minyak dan perbankan, Iran akan kembali ke komitmennya sesuai dengan kesepaktan nuklir,” ujar Rouhani. (Reuters/AP)