REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengungkapkan dirinya secara tidak sengaja melihat rekaman video dari serangan teror Christchurch yang menewaskan 51 jamaah masjid. Dalam artikel yang ditulis untuk harian The New York Times, PM Ardern menyebut serangan teror yang disiarkan langsung merupakan tren baru mengerikan yang tampaknya menyebar di seluruh dunia.
"Hal itu dirancang untuk disiarkan di internet," katanya dalam artikel yang dimuat pekan lalu.
Jangkauan dan kecepatan distribusi siaran langsung berdurasi hampir 17 menit itu digambarkan oleh PM Ardern sebagai mengejutkan. Dia menjelaskan rekaman video itu sempat terlihat 4.000 kali sebelum diturunkan dari Facebook. Namun pada hari berikutnya, beredar setidaknya 1,5 juta salinan video itu.
"Ada satu unggahan per detik ke Youtube dalam 24 jam pertama," kata PM Ardern.
Dengan adanya fitur pemutar otomatis di platform media sosial sehingga banyak sekali pengguna medsos terpapar video itu tanpa sengaja. "Saya menggunakan dan menangani akun medsos saya sama seperti orang lain. Saya tahu jangkauan video ini sangat luas, karena saya juga secara tidak sengaja melihatnya," katanya.
Artikel berjudul "Bagaimana Menghentikan Pembantaian Christchurch Berikutnya" ini terbit di saat PM Ardern akan mengadakan pertemuan dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron dan para pemimpin dunia lainnya. Mereka ingin mengembangkan cara-cara menghentikan konten ekstremis yang dibagikan secara online.
Menyusul serentetan pembunuhan di Prancis pada 2016, pemilik media arus utama di negara itu mengadopsi kebijakan tidak memutar ulang konten-konten kekejaman. "Selandia Baru menyerukan ajakan untuk bertindak atas nama Christchurch, meminta negara dan perusahaan swasta untuk mencegah unggahan konten teroris secara online, memastikan penghapusan secara efisien dan cepat serta mencegah penggunaan siaran langsung sebagai alat menyiarkan serangan teroris," kata PM Ardern.
Dia juga berharap lebih banyak investasi dalam penelitian teknologi yang dapat membantu mengatasi masalah ini. Undang-undang Senjata di Selandia Baru kini telah diperketat, dan hanya ada satu politikus di parlemen negara itu yang menentang tindakan tersebut.
Terdakwa Brenton Tarrant, pria Australia yang didakwa melakukan tindakan teroris ini, diduga menggunakan lima senjata api termasuk semi-otomatis, dalam serangan pada Maret lalu. ABC memutuskan untuk tidak menyiarkan rekaman video dari kejadian itu, dan juga tidak menerbitkan kutipan dari manifesto yang disebarkan pelaku secara online.