REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengunjungi dua masjid di Christchurch yang menjadi sasaran penembakan oleh seorang pria bersenjata pada Maret lalu, dan menewaskan 51 jamaah. Guterres berada di dalam Masjid Al Noor selama 30 menit, dan berbicara dengan para pemimpin Muslim serta korban yang selamat dari serangan tersebut.
Usai pertemuan, Guterres mengatakan kepada wartawan yang menunggunya di area luar masjid bahwa dirinya sangat tersentuh dengan kekompakan solidaritas warga Selandia Baru pasca-penembakan tersebut. Di balik tragedi penembakan yang brutal dan menyedihkan tersebut berubah menjadi kisah solidaritas dan menunjukkan dukungan satu sama lain tanpa mengenal suku, ras, serta agama.
"Saya tidak bisa berkata-kata untuk menghilangkan rasa sakit dan kesedihan ini. Tapi saya datang ke sini secara pribadi untuk mengirimkan cinta, dukungan, dan kekaguman saya," ujar Guterres, Selasa (14/5).
Guterres kemudian mengunjungi Masjid Linwood dan meletakkan karangan bunga. Di masjid tersebut dia bertemu dengan salah satu korban yang selamat dari penembakan yakni Abdul Aziz. Diketahui, Abdul Aziz dianggap sebagai pahlawan karena mengejar dan melemparkan mesin kartu kredit kepada pelaku penembakan. Aziz merasa terhormat dapat bertemu langsung dengan pemimpin PBB tersebut.
"Dia (Guterres) datang ke sini dan berbagi kesedihan dengan kita, itu sangat berarti bagi kita," kata Aziz.
Komisi Kerajaan Selandia Baru akan menyelidiki pelaku penembakan, penggunaan media sosial, koneksi jaringan internasional, serta mencari bukti apakah ada pengaturan prioritas yang tidak tepat dalam sumber daya anti terorisme. Dalam situs website, Komisi Kerajaan menyatakan akan mengumpulkan bukti-bukti dan informasi hingga Agustus. Komisi akan melaporkan temuannya kepada pemerintah pada 10 Desember mendatang.
"Temuan komisi akan membantu memastikan serangan seperti itu tidak pernah terjadi lagi di sini," ujar Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, Senin (13/5).
Ardern berada di Paris pekan ini untuk bersama-sama memimpin pertemuan dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron pada Rabu (15/5) mendatang. Pertemuan tersebut bertujuan untuk membuat para pemimpin dunia dan kepala perusahaan teknologi menandatangani perjanjian Christchurch Call, yakni sebuah pernjanjian untuk menghilangkan konten teroris dan kekerasan ekstrim secara online.
Dalam sebuah opini di The New York Times pada Sabtu lalu, Ardern mengatakan Christchurch Call akan menjadi kerangka kerja sukarela untuk menerapkan langkah-langkah khusus mencegah pengunggahan konten yang berkaitan dengan terorisme.
"Ini bukan tentang merusak atau membatasi kebebasan berbicara. Ini tentang perusahaan-perusahaan ini dan bagaimana mereka beroperasi," kata Ardern.
Sementara, beberapa komunitas Muslim menyerukan agar ada keterbukaan informasi tentang penyelidikan insiden penembakan tersebut. Banyak dari kita di komunitas Muslim belum menerima informasi tentang proses persidangan, begitu banyak dari kita di komunitas sangat merasa di luar lingkaran," kata advokat komunitas Wellington yang berbasis di Guled Mire.
"Pada akhirnya, kami ingin suara kami didengar dan tidak lagi diabaikan, jadi semoga langkah-langkah diambil untuk memastikan informasi dikomunikasikan langsung kepada anggota komunitas Muslim," ujarnya.