REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Misi pencari fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak dunia menghentikan dukungan keuangan dan bantuan-bantuan lain bagi Angkatan Bersenjata Myanmar, Selasa (14/5). Misi PBB tersebut juga mengulang seruannya agar para jenderal tingkat tinggi dihukum atas penyiksaan terhadap kelompok etnis minoritas Muslim Rohingya.
Pasukan keamanan Myanmar dituding melakukan pembunuhan, pemerkosaan massal serta pembakaran saat melancarkan tindakan keras. Aksi itu memaksa lebih dari 730 ribu warga Rohingya lari meninggalkan Negara Bagian Rakhine dan mengungsi ke negara tetangga Myanmar, Bangladesh. Tindakan militer tersebut dilakukan setelah beberapa pos polisi diserang oleh sejumlah gerilyawan Rohingya pada Agustus 2017.
Myanmar selama ini menolak sebagian besar tuduhan serta membantah laporan September tahun lalu, yang dikeluarkan oleh sebuah panel yang ditugaskan PBB. Panel PBB itu mengatakan perwira-perwira militer melancarkan operasi terhadap warga Rohingya dengan niat melakukan pembersihan etnis, dan karena itu harus diadili.
Pengacara hak asasi manusia dan anggota panel asal Australia, Christopher Sidoti, mengatakan Myanmar belum menunjukkan upaya menangani krisis tersebut atau mempermudah kepulangan para pengungsi. Kendati dilarang memasuki Myanmar, para pakar telah berkunjung ke kawasan tersebut, termasuk mendatangi kamp-kamp pengungsi di daerah Cox's Bazar, Bangladesh pada awal Mei.
Seorang pria Rohingya berusaha melewati sungai Naf di perbatasan Myanmar-Bangladesh, untuk melarikan diri dari genosida militer Myanmar terhadap muslim Rohingya.
"Mengingat betapa gawat pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada masa lalu, dan masih berlangsung, kita harus memberi perhatian pada hubungan politik, ekonomi dan keuangan dengan militer Myanmar, untuk menentukan siapa dan apa yang harus disasar," kata Sidoti.
Penajaman perhatian itu akan membantu upaya memutus pasokan dana dalam rangka meningkatkan tekanan dan menurunkan praktik kekerasan. Pernyataan itu tidak menyebutkan secara khusus nama-nama negara yang diminta menghentikan dukungan keuangan bagi militer Myanmar.
Militer Myanmar biasanya membeli persenjataan antara lain dari Cina dan Rusia. Banyak negara Barat menangguhkan program pelatihan atas dasar pelanggaran HAM dan juga menerapkan embargo senjata. Juru bicara militer Mayor Jenderal Tun Tun Nyi mengatakan militer akan menyelidiki tuduhan-tuduhan, yang didukung bukti, namun misi pencari fakta itu telah meningkatkan tuduhan palsu terhadap pasukan keamanan Myanmar.