REPUBLIKA.CO.ID, KUWAIT -- Ketua Majelis Nasional Kuwait Marzouq Al-Ghanim mengatakan risiko perang di kawasan regional Timur Tengah sangat tinggi. Pernyataan ini datang menyusul langkah Amerika Serikat (AS) yang mendatangkan pasukan militer ke perairan di Teluk Arab dalam tindakan yang disebut menghadapi ancaman Iran.
Ghanim mengatakan Pemerintah Kuwait mengkhawatirkan perang dapat meletus di Timur Tengah secara keseluruhan. Ia mengakui pertemuan antara Majelis Nasional dan pemerintah telah dilakukan membahas tantangan di kawasan regional tersebut saat ini.
Dalam pertemuan itu, tak sedikit yang mengungkapkan kekhawatiran perang karena situasi yang dinilai tidak terkendali saat ini. Kuwait meminta agar persatuan harus terus dijaga guna menghadapi berbagai masalah, hingga konflik ke depannya.
Ghanim mengatakan sejumlah kementerian di Kuwait akan melakukan tindakan pencegahan terhadap perang. Diantaranya adalah dengan rencana Kementerian Informasi negara itu untuk meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya menjaga stabilitas internal.
"Situasi eksternal tidak meyakinkan, tetapi secara internal, kami percaya, seperti yang telah kami katakan, persiapan pemerintah lebih baik dari sebelumnya," kata Ghanim.
Ghanim mencatat Menteri Luar Negeri Kuwait Sheikh Sabah Khaled Al-Hamad Al-Sabah menyampaikan tinjauan umum tentang situasi regional. Dalam sebuah pernyataan, Al-Sabah menekankan pentingnya berbagai persiapan untuk segala kemungkinan yang terjadi di Timur Tengah.
“Kami perlu bertindak secara bijak dan bertanggung jawab untuk menghadapi tantangan eksternal kita,” kata Al-Sabah.
Dalam beberapa hari terakhir, ketegangan di Timur Tengah terjadi seiring dengan meningkatnya kekhawatiran tentang potenis konflik AS-Iran. Pada awal pekan ini, AS menarik beberapa staf diplomatik dari kedutaan besarnya di Baghdad, setelah serangan sabotase terhadap empat kapal tanker minyak di Teluk Arab.
Awal mula ketegangan yang terjadi dipicu oleh keluarnya AS dari Kesepakatan Nuklir 2015 yang dibuat Iran bersama dengan enam negara dalam Dewan Keamanan PBB. Tak hanya itu, AS kemudian memberikan sejumlah sanksi yang menekan Iran.
Sanksi itu antara lain dari larangan ekspor minyak, termasuk individu dan para pembeli utama sumber daya negara yang termasuk sebagai produsen keempat terbesar OPEC itu. AS mengaku belum sepenuhnya merasa aman dari kemungkinan bahaya dalam kesepakatan nukilr Iran 2015 yang didasarkan dalam JCPOA dengan negara-negara Eropa.
Hal itu diantaranya adalah karena menurut AS tidak dibahas kekhawatiran dunia mengenai kegiatan non-nuklir Iran. Selain itu, tidak dimungkinkannya AS dan negara lain yang terlibat dalam perjanjian dapat menghukum Iran atas adanya kemungkinan terjadinya hal itu.
Dengan tekanan yang terus meningkat, terutama dengan ancaman AS melalui tindakan militer, Iran pada 8 Mei lalu memutuskan menangguhkan beberapa kesepakatan dalam Perjanjian Nuklir 2015. Dalam sebuah pernyataan, Presiden Iran Hassan Rouhani juga mengatakan Iran akan tetap memiliki kelebihan uranium yang diperkaya. Negara itu tidak akan menjualnya, seperti yang diminta dalam perjanjian nuklir tersebut.