Rabu 22 May 2019 11:44 WIB

Dunia Hadapi Risiko Perang Nuklir Tertinggi Sejak PD II

PBB mengatakan senjata nuklir merupakan masalah mendesak.

Rep: Fergi Nadira/Rossi Handayani/ Red: Ani Nursalikah
Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korut Kim Jong-un membuat kesepakatan pelucutan senjata nuklir
Foto: AP
Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korut Kim Jong-un membuat kesepakatan pelucutan senjata nuklir

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Direktur Institut PBB untuk Penelitian Perlucutan Senjata (UNIDIR) Renata Dwan menilai, sejak Perang Dunia II, penggunaan senjata nuklir berisiko paling tinggi. Ia menyebutnya sebagai masalah mendesak sehingga dunia harus menganggapinya lebih serius.

Dwan mengatakan, semua negara dengan senjata nuklir memiliki program modernisasi nuklir yang sedang berjalan. Lanskap pengontrolan senjata juga masih berubah karena persaingan strategis antara Cina dan Amerika Serikat (AS).

Baca Juga

Menurutnya, pengaturan kontrol senjata tradisional juga terkikis oleh munculnya jenis perang baru. Hal itu ditandai dengan meningkatnya prevalensi kelompok bersenjata dan pasukan sektor swasta serta teknologi baru yang mengaburkan batas antara pelanggaran dan pertahanan.

Berdasarkan negosiasi perlucutan senjata yang macet selama dua dekade terakhir, 122 negara telah menandatangani perjanjian untuk melarang senjata nuklir. Sebagian karena frustrasi dan sebagian karena pengakuan risiko.

photo
Sebuah foto yang mengilustrasikan peluncuran misil militer Iran di kota Bushehr, pada akhir Desember 2016. Pemerintah AS baru saja menjatuhkan sanksi kepada Iran atas dugaan kepemilikan misil yang bisa membawa senjata nuklir.

"Saya pikir ini benar-benar seruan untuk mengakui, dan ini telah sedikit hilang dalam liputan media tentang risiko perang nuklir sangat tinggi sekarang, dan risiko penggunaan senjata nuklir, untuk beberapa  faktor yang saya tunjukkan, lebih tinggi sekarang daripada kapan pun sejak Perang Dunia II," ujar Dwan seperti dikutip Channel News Asia, Rabu (22/5).

Perjanjian larangan nuklir, secara resmi disebut Perjanjian untuk Larangan Senjata Nuklir, didukung oleh Kampanye Internasional untuk Menghapuskan Senjata Nuklir (ICAN), yang memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada 2017. Perjanjian tersebut sejauh ini telah mengumpulkan 23 dari 50 ratifikasi yang perlu diberlakukan, termasuk Afrika Selatan, Austria, Thailand, Vietnam dan Meksiko. Namun sangat ditentang oleh AS, Rusia, dan negara-negara lain dengan senjata nuklir.

Kuba juga meratifikasi perjanjian tersebut pada 2018 atau 56 tahun setelah krisis rudal Kuba. Perang dingin 13 hari antara Moskow dan Washington menandai kemungkinal paling dekat dunia yang pernah berniat ke perang nuklir.

Dwan mengatakan, dunia seharusnya tidak mengabaikan bahaya senjata nuklir. "Bagaimana kita berpikir tentang itu, dan bagaimana kita bertindak atas risiko itu dan pengelolaan risiko itu, bagi saya merupakan pertanyaan yang cukup signifikan dan mendesak yang tidak tercermin sepenuhnya dalam Dewan Keamanan (PBB)," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement