REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Utara (Korut) melabeli mantan wakil presiden dan kandidat calon presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden sebagai 'orang bodoh dengan IQ rendah' dan 'dungu yang tidak memiliki kualitas dasar sebagai seorang manusia'. Pernyataan itu dikeluarkan setelah Biden menyebut Pemimpin Korut Kim Jong-un sebagai tiran dalam pidatonya baru-baru ini.
Kantor berita Korut KCNA mengatakan Biden telah menghina pemimpin tertinggi negara mereka. Menurut KCNA, Biden telah 'melakukan provokasi serius dan tak termaafkan yang termotivasi urusan politik'.
"Apa yang ia utarakan hanya kecanggihan kata-kata sebagai dungu yang kehilangan kualitas dasar sebagai manusia, tidak hanya sebagai politisi," kata KCNA dalam laporan mereka, Rabu (22/5).
KCNA menulis ada komentar tanpa henti atas upaya Biden maju sebagai kandidat presiden. KCNA melaporkan mantan wakil Barack Obama itu dianggap tidak pantas menerima harapan serta banyak yang menganggap sebagai orang bodah yang memiliki IQ rendah.
"Belum lagi, ia memuji dirinya sendiri sebagai kandidat presiden yang paling popler, ini cukup membuat kucing tertawa," tambah laporan KCNA tersebut.
Dalam peluncuran kampanyenya di Philadelphia, Sabtu (18/5) lalu Biden menuduh Presiden AS Donald Trump nyaman berhubungan dengan diktaktor dan tiran seperti Kim Jong-un dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Belum ada tanggapan dari tim kampanye Biden tentang laporan KCNA tersebut.
Selama beberapa tahun terakhir Korut kerap kali melemparkan hinaan kepada politisi AS dan Korea Selatan yang mengkritik kepemimpinan atau bermusuhan dengan kebijakan diplomatik dan militer Pyongyang. Korut juga melemparkan kata-kata rasis dan seksis. Mereka menyebut Barack Obama sebagai 'monyet' dan mantan Presiden Korea Selatan (Korsel) Park Geun-hye sebagai pelacur.
Saat AS dan Korut bersitegang karena uji coba nuklir pada 2017, Kim menyebut Trump 'orang tua yang gila'. Setelah AS mengatakan akan menghancurkan Korut jika mereka terpaksa untuk melindungi diri dan sekutunya.
Hubungan Trump dan Kim membaik pada 2018 ketika Korsel dan AS mulai mencoba membujuk Korut membongkar fasilitas nuklir dengan jaminan keuntungan ekonomi dan keamanan. Tapi negosiasi denuklirisasi Semananjung Korea mengalami kebuntuan karena pertemuan kedua Trump dan Kim pada bulan Februari lalu tidak menghasilkan keputusan apa-apa.