Jumat 24 May 2019 02:36 WIB

Pembatasan Fitur Medsos Demi Tangkal Hoaks Perlu Untuk Kondisi Darurat

Pemerintah Indonesia batasi sementara fitur media sosial.

Red:
abc news
abc news

 

Pemerintah Indonesia membatasi fitur foto dan video yang terdapat di platform media sosial (medsos) dan Whatsapp. Langkah sementara ini ditujukan untuk menangkal hoaks atau berita bohong yang beredar seputar kerusuhan dan kondisi keamanan Jakarta pasca pengumuman hasil Pemilu 2019. Pembatasan ini dianggap perlu dalam kondisi darurat.

Poin utama:

  • Pemerintah Indonesia batasi sementara fitur media sosial dan aplikasi pesan terenkripsi untuk tangkal hoaks yang menyebar luas
  • Hoaks terkait demo dan kerusuhan pasca pengumuman hasil Pemilu banyak menyasar institusi seperti kepolisian
  • Pemerintah Indonesia juga diminta menghargai kebebasan berekspresi tiap warga negara

 

Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Anita Wahid, mengatakan masyarakat harus melihat pembatasan fitur medsos dan aplikasi pesan yang dilakukan Pemerintah Indonesia ini secara jernih.

"Sebenarnya kalau kita lihat adalah apakah memang pembatasannya ini pembatasan yang menyeluruh dalam artian tidak bisa mempergunakan semuanya atau cuma dibatasi hal-hal tertentu yang bisa menunjang untuk jaga keamanan."

"Kalau sekarang kan kelihatannya yang dibatasi hanya video, foto, seperti itu ya dan itu bukan tidak boleh tapi pengunggahannya diperlambat," jelas Anita kepada ABC (22/5/2019).

Dalam konteks itu, Anita menilai keputusan pembatasan bukan bertujuan ingin mengekang kebebasan berekspresi.

"Tapi memang dalam kondisi darurat seperti sekarang maka hal-hal yang dianggap memicu keresahan masyarakat berlebihan, kecemasan dan bahkan sebagai platform yang digunakan untuk menyebarkan hoaks memang perlu sekali dilakukan tindakan seperti ini."

Meski demikian, Anita mengingatkan mekanisme kontrol dari pembatasan tersebut juga harus berjalan baik.

"Dalam artian jika suasananya sudah tidak membutuhkan lagi untuk dilakukan ini, ini harus segera dicabut," tegas putri mantan Presiden RI, Gus Dur, ini.

 

Pada hari Rabu (22/5/2019) siang, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Indonesia, Wiranto, mengumumkan adanya pembatasan fitur-fitur tertentu dari media sosial dan aplikasi pesan. Keputusan ini muncul seiring dengan maraknya berita bohong terkait aksi unjuk rasa dan kerusuhan pasca pengumuman hasil Pemilu 2019.

"Untuk menghindari provokasi berita bohong kepada masyarakat luas, akan kita adakan pembatasan akses di media sosial, fitur tertentu untuk tidak diaktifkan untuk menjaga hal-hal negatif yang terus disebarkan ke masyarakat," ujar Wiranto dalam konferensi pers bersama Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Tito Karnavian, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Marsekal Hadi Tjahjanto, dan Menteri

Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Jakarta (22/5/2019).

Pembatasan ini bersifat sementara dan bertahap serta diberlakukan terhadap beberapa media sosial dan aplikasi pesan terenksripsi, tidak semuanya.

"Fitur yang kita prioritaskan untuk sementara tidak diaktifkan yaitu video dan foto atau gambar. Mengapa? Karena secara psikologis, tanpa kita memberi teks, tanpa kita menyampaikan apapun, kalau video itu bisa langsung kepada emosi."

"Saya minta maaf tapi sekali lagi ini sementara dan bertahap. Mudah-mudahaan selesai karena ini bermanfaat untuk kita pribadi," jelas Menkominfo Rudiantara dalam konferensi pers tersebut.

Pembatasan ini terjadi dalam bentuk pelambatan aktivitas mengunduh dan mengunggah video maupun foto.

 

Rudiantara memaparkan dengan adanya pembatasan ini, postingan yang dianggap bermuatan berita bohong atau hoaks tidak menyebar luas dengan cepat.

"Postingan di media sosial seperti Facebook, Instagram, dalam bentuk video, dalam bentuk meme, dalam bentuk foto. Kemudian (di-)screen capture, diambil, viralnya bukan di media sosial, viralnya di messaging system seperti Whatsaap," terang Menkominfo kepada wartawan (22/5/2019).

Menurut Anita Wahid, mayoritas hoaks seputar aksi unjuk rasa dan kerusuhan pasca pengumuman hasil Pemilu 2019 yang diamati tim Mafindo menyasar institusi-institusi yang bertugas menjaga keamanan seperti Polri.

"Polri misalnya banyak diisukan dengan foto-foto yang seakan-akan memperlihatkan ini adalah polisi impor karena fitur-fitur wajahnya menunjukkan seakan-akan mirip orang China."

"Terus kemudian ada lagi informasi-informasi hoaks yang sangat enggak jelas mengenai penembakan-penembakan di masjid yang sebenarnya jauh dari lokasi di Bawaslu."

"Tapi ini banyak beredar, justru ini beredarnya di luar Jakarta informasi-informasi seperti ini."

Kebebasan ekspresi harus dilindungi

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid, mengatakan Pemerintah Indonesia harus menghormati kebebasan ekspresi setiap warganya yang ingin berkumpul secara damai terkait hasil Pemilu 2019.

Dalam pernyataan resmi di media sosial AII (21/5/2019), Usman menegaskan Pemerintah Indonesia harus memperbolehkan tiap warga negara untuk berdemonstrasi secara bebas dan damai.

"Pihak berwenang di Indonesia harus memperbolehkan orang berdemonstrasi secara bebas dan damai. Aparat keamanan harus menahan diri untuk menggunakan kekuatan yang tidak perlu atau berlebihan maupun mengintimidasi demonstran," kata Usman.

Terkait adanya laporan bahwa polisi mengintimidasi sejumlah kelompok yang bepergian dengan bus ke Jakarta dan memerintahkan mereka untuk kembali ke rumah dan tidak bergabung dengan massa lain di Jakarta, Usman menyebut hal itu melanggar hak asasi manusia.

"Mencegah orang bergabung dengan protes damai adalah pelanggaran terhadap hak asasi mereka. Setiap orang memiliki hak untuk bergabung dengan orang lain dan mengekspresikan pikiran mereka secara damai."

Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement