REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Cina mengklaim bahwa Amerika Serikat (AS) adalah pihak yang memulai perang dagang dengannya. Eskalasi terbaru dalam bidang perdagangan antara kedua negara juga tak terlepas dari tindakan sepihak Washington.
Duta Besar Cina untuk Indonesia Xiao Qian mengatakan, sejak negaranya terlibat perang tarif dengan AS tahun lalu, 11 putaran pembicaraan telah dilangsungkan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
"AS menuduh Cina mundur dari perundingan perdagangan. Tapi jika Anda melihat liputan media sebelumnya dalam 11 putaran pembicaraan dagang, Anda akan melihat jelas pihak mana yang melakukan pembalikan kebijakan secara tiba-tiba selama ini," kata Xiao saat berpidato pada acara buka puasa bersama di rumah dinasnya di Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (24/5).
Dia mengungkapkan pada Mei tahun lalu, Cina dan AS telah mencapai kesepakatan dagang dan menerbitkan pernyataan bersama di Washington. Tapi hanya beberapa hari setelahnya, AS mengabaikan kesepakatan.
Pada Desember 2018, kedua negara kembali mencapai kesepakatan tentang nilai pembelian Cina dari AS. Namun dalam pembicaraan berikutnya, AS dengan ceroboh menolak perjanjian dan meminta hal lebih dari Beijing. "Ini bukan Cina, tapi AS yang mundur dan melanggar komitmen," ujar Xiao.
Dia menyatakan negaranya masih berkomitmen untuk menyelesaikan perselisihan dagang dengan Washington. "Cina bertekad menuntaskan perselisihan melalui dialog dan negosiasi dan berharap dapat mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan berlandaskan rasa saling menghormati," ucapnya.
Kendati demikian, Cina pun siap meladeni AS jika memang menghendaki perang dagang. "Cina tak menginginkan perang, tapi kami tidak takut terhadap hal itu. Di bawah situasi tertentu, kami tak punya pilihan selain bertarung," ujar Xiao.
Xiao menilai, relasi dagang antara Cina dan AS tak hanya penting untuk masyarakat di kedua negara, tapi juga komunitas internasional, termasuk Indonesia. "Banyak teman di Indonesia khawatir eskalasi perselisihan dagang (Cina-AS) akan membawa dampak negatif bagi perekonomian dunia, termasuk ekonomi Indonesia," kata dia.
Pada Mei tahun lalu, AS mengenakan tatif impor sebesar 200 miliar dolar bagi produk-produk asal Cina. Baru-baru ini, Washington pun telah melarang perusahaan telekomunikasi Cina, Huawei, membeli produk-produk asal negaranya. Langkah itu menyebabkan Huawei kehilangan kerja sama bisnisnya dengan Google selaku penyedia sistem operasi untuk ponsel pintar mereka.