Sabtu 25 May 2019 17:04 WIB

Konflik Israel-Palestina Butuh Keadilan Solusi Politik

Qatar mengatakan perdamaian Israel-Palestina tidak butuh solusi ekonomi.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Ilustrasi Bendera Israel dan Palestina
Ilustrasi Bendera Israel dan Palestina

REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Pemerintah Qatar mengatakan pembangunan ekonomi yang dibutuhkan untuk perdamaian Israel-Palestina tidak dapat dicapai tanpa solusi politik yang adil. Pernyataan Doha merujuk pada konferensi ekonomi bertajuk "Peace for Prosperity" yang hendak digelar Amerika Serikat (AS) di Bahrain pada 25-26 Juni mendatang. 

Kementerian Luar Negeri Qatar mengatakan penyelesaian konflik Israel-Palestina membutuhkan ketulusan niat, upaya bersama dari para aktor regional serta internasional, dan kondisi politik yang tepat untuk kepentingan kemakmuran ekonomi. 

"Kondisi ini tidak akan tercapai tanpa solusi politik yang adil untuk masalah masyarakat di wilayah ini, terutama masalah Palestina, sesuai dengan kerangka kerja yang dapat diterima saudara-saudara rakyat Palestina," kata Kementerian Luar Negeri Qatar pada Jumat (24/5). 

Bagian pertama dari rencana perdamaian Timur Tengah, termasuk dalam konflik Israel-Palestina, hendak dirilis AS pada konferensi Peace for Prosperity di Bahrain. Terkait Israel-Palestina, Washington disebut akan mendorong solusi ekonomi, yakni dengan mendorong investasi di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh telah mengatakan hanya solusi politik yang dapat menjamin berakhirnya konflik Arab-Israel yang telah berlangsung selama beberapa dekade terakhir.

Palestina, kata dia, tak akan menerima solusi ekonomi. 

“Masalah ekonomi harus menjadi hasil dari solusi politik karena rakyat dan kepemimpinan Palestina tidak hanya mencari peningkatan taraf hidup di bawah pendudukan (Israel)," ujarnya pada Senin (20/5), dilaporkan kantor berita Palestina, WAFA.

“Setiap solusi politik untuk konflik di Palestina hanya akan datang melalui solusi politik yang bertujuan mengakhiri pendudukan dan realisasi hak-hak Palestina di negara yang independen, berdaulat, dan layak di perbatasan 1967, dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya dan hak kembalinya pengungsi berdasarkan resolusi PBB serta hukum internasional,” kata Shtayyeh. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement