REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Myanmar memberikan pembebasan awal kepada tujuh tentara yang dipenjara karena telah membunuh 10 pria dan anak laki-laki Rohingya di desa Inn Din selama penumpasan militer pada 2017. Dengan pembebasan tersebut, berarti para tentara tersebut menjalani hukuman penjara kurang dari satu tahun dari hukuman semestinya, yakni 10 tahun.
Kepala sipir di penjara Sittwe Rakhine, Win Naing dan seorang pejabat senior di Naypyitaw membenarkan tentara yang dibebaskan tersebut hanya diberikan hukuman penjara selama beberapa bulan. Namun, mereka menolak memberikan perincian lebih lanjut dan mengatakan tidak mengetahui tanggal pasti pembebasan tersebut.
"Hukuman mereka dikurangi oleh militer," ujar pejabat senior di Naypyitaw yang enggan disebutkan namanya, Senin (27/5).
Juru bicara militer Zaw Min Tun dan Tun Tun Nyi menolak berkomentar. Tujuh tentara yang dipenjara tersebut merupakan satu-satunya personel keamanan militer yang dihukum atas operasi militer pada 2017 di Rakhine. Operasi tersebut mendorong lebih dari 730 ribu Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
Penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan, tindakan kekerasan tersebut termasuk pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran. Myanmar membantah telah melakukan kesalahan yang meluas dalam operasi tersebut. Para penjabat menyatakan, tujuh anggota militer yang ditahan dalam kasus di Inn Dinn merupakan bukti pasukan keamanan Myanmar tidak kebal hukum.
"Kami mengambil tindakan terhadap setiap kasus yang kami selidiki. Kejahatan yang kami hukum adalah pembunuhan, dan hukuman penjara 10 tahun diberikan kepada tujuh pelaku. Kami tidak memaafkan siapa pun jika mereka melakukan kejahatan," ujar Komandan Militer, Min Aung Hlaing kepada Dewan Keamanan PBB pada April lalu.
Reuters mencoba menghubungi seorang pria bernama Zin Paing Soe. Dia mengonfirmasi dirinya menjadi bagian dari tujuh tentara yang dibebaskan. Namun, Soe diminta diam dan tidak memberikan komentar.
"Kami disuruh diam," kata Soe.
Pasukan dari 33rd Light Infantry Division, yakni pasukan yang dikenal karena kampanye kontrapemberontakannya yang brutal, bekerja sama dengan anggota pasukan polisi paramiliter dan warga vihara untuk mengusir seluruh populasi Muslim di Inn Din. Mereka diketahui membakar dan menjarah rumah-rumah etnis Rohingya.
Kemudian, pada 1 September 2017, tentara dan beberapa penduduk desa menahan 10 orang Rohingya. Militer menyatakan mereka adalah teroris. Namun, keluarga mereka mengatakan, 10 orang tersebut berprofesi sebagai petani, siswa sekolah menengah, dan guru agama Islam.
Dua wartawan Reuters, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo menemukan kuburan dan mendapatkan gambar 10 orang Rohingya sebelum dan sesudah mereka terbunuh. Kemudian, kedua jurnalis tersebut ditangkap pada Desember 2017 ketika sedang menyelidiki pembunuhan. Mereka dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara di bawah Official Secrets Act.
Pada April 2018, militer mengumumkan empat perwira dan tiga prajurit telah dipecat dari militer dan dijatuhi hukuman 10 tahun karena berkontribusi dan berpartisipasi dalam pembunuhan. Namun, nama maupun perincian peran mereka dalam pembunuhan itu tidak diungkapkan.
Ketika itu, pemimpin sipil, Aung San Suu Kyi menyambut hukuman tersebut dan mengatakan bahwa hukuman itu merupakan langkah pertama Myanmar untuk bertanggung jawab. Namun, hingga berita ini diturunkan, juru bicara Suu Kyi, Zaw Htay tidak memberikan komentar terkait tujuh tentara yang dibebaskan tersebut.
Seorang aktivis politik dari Sittwe, Aung Than Wai menghabiskan masa tahanan dalam satu gedung yang sama dengan tujuh tentara yang dibebaskan tersebut. Wai mengatakan bahwa dia ingin berbicara secara terbuka tentang pembebasan prajurit militer tersebut. Karena, di penjara itu terdapat seorang warga etnis Rakhine beragama Buddha yang masih menjalani tahanan karena tuduhan pembunuhan di Inn Din.
Wai mengatakan, para prajurit yang dipenjara tersebut diberi bir dan rokok oleh petugas. Padahal, pemberian rokok dan bir dilarang dalam aturan. Selain itu, para prajurit juga dikunjungi oleh para pejabat militer. Dia mengatakan, pada November, ketujuh prajurit tentara itu dibawa keluar penjara dengan menggunakan kendaraan militer.