REPUBLIKA.CO.ID, RAKHINE -- Organisasi kemanusiaan Amnesty International merilis hasil penyelidikan kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan militer Myanmar di Komando Barat Rakhine. Pasukan militer juga terlibat dalam kekerasan terhadap minoritas Rohingya pada 2017.
Para korban yang mengidentifikasi tentara pelaku kekerasan juga berasal dari Divisi Infanteri Ringan 22 dan 55, unit pasukan yang beroperasi di wilayah lain negara tersebut. "Kurang dari dua tahun sejak kekerasan massal yang memicu kemarahan dunia terhadap populasi Rohingya, militer Myanmar kembali melakukan pelanggaran mengerikan terhadap kelompok etnis di negara bagian Rakhine," kata direktur regional Asia Timur dan Tenggara Amnesty International Nicholas Bequelin, seperti dilansir di Aljazirah, Rabu (29/5).
Konflik di Rakhine bermula ketika 13 orang polisi tewas dibunuh dalam serangan terkoordinasi yang dilakukan Pasukan Arakan. Memicu pemerintah sipil Aung San Suu Kyi memerintahkan angkatan bersenjata 'menghancurkan' kelompok tersebut. Pasukan Arakan banyak merekrut anggota dari masyarakat etnis Rakhine.
"Operasi terbaru di negara bagian Rakhine menunjukan militer tidak memperbaiki diri, tidak direformasi dan tidak mempertanggung jawabkan teror terhadap warga sipil dan melakukan pelanggaran sebagai taktik yang disengaja," ujar Bequelin.
Lebih dari 730 ribuwarga Rohingya, minoritas Muslim di Myanmar, terpaksa mengungsi ke Bangladesh sejak kekerasan pecah pada 2017. Misi pencari fakta PBB sudah meminta jenderal militer Myanmar dihukum atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.
Kambing milik penduduk etnis Rohingya berkeliaran di reruntuhan rumah yang terbakar di Desa Alel Than Kyaw , Maungdaw Selatan, Rakhine, Myanmar, beberapa waktu lalu. Menyusul eksodus warga etnis Rohingya ribuan ternak milik pengungsi berkeliaran tanpa tuan.
Kini militer Myanmar fokus terhadap Pasukan Arakan. Kelompok bersenjata yang diperkirakan memiliki 7.000 anggota. Mereka meminta Rakhine mendapatkan otonomi yang lebih besar. Kekerasan terbaru memicu 30 ribu orang lebih mengungsi.
"Ada budaya impunitas yang terjadi terus-menerus, ini bukan kasus beberapa telur busuk, ini masalah yang sangat sistemik, masalah yang dilembagakan militer Myanmar tidak akan hilang dengan memberi sanksi beberapa prajurit," kata peneliti Amnesty International Laura Haigh.
Pada April lalu PBB mengatakan 'terganggu' dengan laporan yang menunjukkan adanya serangan berkelanjutan terhadap warga sipil di negara bagian yang bergejolak itu. Dalam laporan yang berjudul Kejahatan perang dan Pelanggaran di Negara Bagian Rakhine, Amnesty International mendesak Dewan Keamanan PBB membawa situasi di Myanmar ke Pengadilan Kejahatan Internasional.
Mereka juga mendesak Myanmar dilarang membeli senjata. Amnesty International pun masih mendorong pejabat-pejabat senior negara Asia Tenggara itu dihukum.