REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi pegiat hak asasi manusia (HAM) Amnesty International menyerukan adanya peningkatan tekanan dari masyarakat internasional kepada pemerintah Myanmar dan pihak-pihak lainnya untuk segera menangani masalah kemanusiaan etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar.
Amnesty International dalam siaran pers yang diterima di Jakarta pada Rabu (29/5) menyebutkan operasi militer terbaru di Rakhine dijalankan kurang dari 18 bulan setelah pasukan keamanan Myanmar melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap penduduk Rohingya. "Dengan berlangsungnya kekejaman dari militer Myanmar seperti sebelumnya, jelas tekanan internasional perlu lebih diintensifkan," ujar Nicholas Bequelin, Direktur Regional Amnesty International untuk wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara.
Lebih dari 900 ribu pengungsi Rohingya masih tinggal di kamp-kamp pengungsian di negara tetangga Bangladesh, dan laporan terbaru Amnesty menunjukkan lebih banyak bukti bahwa wilyah tersebut tidak lagi aman bagi mereka untuk kembali. Bukti baru itu menunjukkan desakan yang lebih besar bagi PBB untuk menindak berbagai kekejaman yang dilakukan oleh militer Myanmar di Rakhine, negara bagian Kachin dan Shan di Myanmar Utara.
Sebelumnya, Misi Pencari Fakta PBB telah meminta pejabat militer senior diselidiki dan diadili atas kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan genosida. Dengan tidak adanya akuntabilitas pada tingkat domestik Myanmar, Amnesty International menyerukan kepada Dewan Keamanan PBB untuk segera merujuk situasi di Myanmar ke Pengadilan Kejahatan Internasional (International Criminal Court/ICC) dan memberlakukan embargo senjata yang komprehensif.
"Berkali-kali, komunitas internasional gagal menghentikan kejahatan militer Myanmar dan melindungi penduduk sipil. Dewan Keamanan dibentuk untuk menanggapi situasi semacam ini, sudah waktunya mereka mengambil tanggung jawab tersebut dengan serius," ucap Bequelin.
Amnesty International juga menekankan para mitra internasional Myanmar pun harus memikirkan kembali hubungan yang mereka jalin dengan kepemimpinan militer Myanmar dan menerapkan sanksi yang ditargetkan terhadap pejabat senior melalui badan multilateral, seperti Uni Eropa dan ASEAN. Laporan terbaru Amnesty International mengungkap adanya bukti pelanggaran yang dilakukan oleh pasukan militer yang terlibat dalam kejahatan masa lalu, termasuk di dalamnya divisi dan batalion khusus di bawah Komando Barat.
Amnesty International telah mengonfirmasi lebih lanjut unit-unit yang baru diterjunkan berasal dari Divisi Infanteri Ringan (Light Infantry Division- LID) 22 dan 55, dan mereka bertanggung jawab atas banyak kejahatan baru tersebut. Sementara dari wawancara dan bukti lain, termasuk lewat citra satelit, Amnesty International mendokumentasikan tujuh serangan yang melanggar hukum, yang menewaskan 14 warga sipil dan melukai setidaknya 29 orang lainnya. Sebagian besar serangan itu dilakukan secara membabi buta, dan beberapa juga merupakan serangan langsung terhadap warga sipil.