Pengadilan di Myanmar mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap biksu nasionalis Buddha Ashin Wirathu, atas tuduhan penghasutan. Demikian disampaikan kepolisian setempat, Rabu (29/05).
Dia dikenal lantaran acap mengumbar ujaran kebencian terhadap minoritas muslim, Rohingnya, dan membenarkan operasi militer di Rakhine yang menewaskan ribuan warga lokal.
Baca juga:ASEAN Tuntut Myanmar Bertanggungjawab atas Nasib Rohingya
Juru bicara kepolisian Myanmar, Myo Thu Soe mengatakan, surat perintah penangkapan itu telah dikeluarkan pada hari Selasa (28/05) oleh pengadilan distrik barat di Yangon. Dia tidak memberikan alasan rinci soal surat perintah penangkapan itu. Tapi, dalam demonstrasi baru-baru ini, Wirathu menuduh pemerintah korupsi dan mengritiknya karena mencoba mengubah konstitusi yang akan memangkas kewenangan militer.
"Tuduhan hasutan ini merupakan perundungan baginya," ujar Thu Saitta, sekutu Wirathu, kepada kantor berita Reuters. "Kami tidak akan mengatakan apa yang akan kami lakukan jika dia ditangkap, tetapi kami tidak akan tinggal diam."
Wirathu adalah yang paling menonjol di antara para bhikkhu nasionalis yang bobot politiknya meningkat di Myanmar sejak transisi dari pemerintahan militer mulai tahun 2011. Pada 2013 dia menggelar road show keliling Myanmar dan mengkampanyekan betapa warga muslim gemar memerkosa perempuan atau melecehkan agama Buddha.
"Muslim seperti ikan mas Afrika. Mereka bereproduksi dalam waktu cepat dan mencintai kekerasan. Dan mereka menyantap anak sendiri. Meski mereka di sini minoritas, kami menderita di bawah beban yang mereka bawa ke sini," ujarnya dalam sebuah wawancara dengan GlobalPost saat itu.
Baca juga:PBB: Krisis Rohingya Picu Konflik Regional
Juru bicara kepolisian Myanmar mengatakan surat perintah itu belum diterima oleh polisi di pusat kota Mandalay, di mana Wirathu bermukim.
Jawatan agama tertinggi Myanmar melarang Wirathu berkhotbah selama setahun hingga awal tahun lalu, dengan alasan khotbahnya mengandung penyebaran kebencian. Dia sering menjadikan kaum muslim Rohingya sebagai target, di mana lebih dari 700.000 di antaranya telah melarikan diri dari penumpasan tentara di negara bagian Rakhine pada tahun 2017, yang oleh para penyelidik PBB disebutkan sebagai kasus yang dilakukan dengan "niat genosidal".
Wirathu menghadapi kemungkinan pasal tentang penyebaran "kebencian atau penghinaan" dengan ancaman hukuman penjara hingga tiga tahun.
rzn/ap (dpa,afp)