Ahad 02 Jun 2019 16:56 WIB

Aksi Seruan Perdamaian Korea di Kedubes AS di Seoul

Para pemrotes juga ingin AS melonggarkan kebijakannya melawan Korea Utara.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Budi Raharjo
Citra satelit yang menunjukkan lokasi reaktor nuklir Korea Utara (Korut) Yongbyon.
Foto: reuters
Citra satelit yang menunjukkan lokasi reaktor nuklir Korea Utara (Korut) Yongbyon.

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Ratusan warga Korea Selatan (Korsel) melakukan aksi protes di luar Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Gwanghwamun Square Seoul, Sabtu (1/6) waktu setempat. Para pemrotes membawa papan-papan bertuliskan meminta perdamaian di Semenanjung. Mereka menghentakkan drum dan melantunkan seruan perdamaian secara serempak.

Dilansir UPI, pesan mereka adalah bahwa menginginkan deklarasi perdamaian yang dijanjikan soal pengakhiran Perang Korea. Para pemrotes juga ingin AS melonggarkan kebijakannya melawan Korea Utara (Korut).

Protes diselenggarakan sebagian besar oleh Komite Promosi Perdamaian Candlelight yang dibentuk hampir setahun setelah KTT Singapura 12 Juni antara Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korut Kim Jong-un. Kala itu keduanya menjanjikan upaya untuk membangun rezim perdamaian yang stabil dan langgeng di Semenanjung Korea.

"Kami satu untuk seluruh sejarah semenanjung kami, dan kami telah berpisah hanya selama 70 tahun terakhir. Itu waktu yang sangat singkat dibandingkan dengan seluruh sejarah kami sebagai orang Korea," kata Pastor Kim Jong-su (64 tahun) kepada UPI setelah memberikan pidato di aksi demonstrasi.  

"Untuk mengakhiri perpisahan ini, kita perlu melihat pertukaran bersama, antar-Korea ... dan jujur, saya merasa bahwa (AS) menghalangi itu," tambah dia.

Ketegangan antara Korut dan Korsel sempat mereda setelah Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang menyatukan kedua Korea Februari lalu. Kemudian diplomasi berkembang ketika Trump bertemu Kim secara langsung di KTT Singapura Juni lalu.

Namun, sejak itu terhenti. Pada bulan Februari, KTT Vietnam antara Trump dengan Kim Jong-un gagal. Trump mengklaim pemimpin Korut menginginkan semua sanksi dicabut sebagai imbalan atas penandatanganan deklarasi bersama.

"Orang-orang di sini sangat mengharapkan perdamaian dan penyatuan kembali Semenanjung Korea. Dan setelah pertemuan puncak AS-Korut kedua di Hanoi hancur, kami berada di sini untuk menyatakan kekecewaan kami," ujar pemrotes Yoo Yeong-jae (57 tahun).

"Korut mengambil beberapa langkah menuju denuklirisasi seperti yang telah mereka janjikan, dan AS harus bereaksi dengan benar untuk menghapus sanksi serta mengumumkan berakhirnya perang," tambahnya.

Salah satu pemrotes, Kim Jong-su mengatakan, tahun lalu, Korut dan AS membuat kemajuan besar, dan kerangka kerja untuk perdamaian dan denuklirisasi didirikan. Namun sayang, kata dia di KTT Vietnam, AS tiba-tiba kehilangan pandangan tentang dua hal ini dan meminta denuklirisasi sepihak. "Tidak mungkin seperti ini. Ini bukan tentang menyerahkan senjata nuklir terlebih dahulu," kata Kim.

Demonstran seperti Kim Jong-su dan Yoo bergabung dengan kerumunan yang membawa spanduk bertuliskan Semenanjung Korea yang bersatu dan menyerukan lebih banyak proyek kerja sama antara Korut dan Korsel. Banyak pengunjuk rasa juga menuntut pembukaan kembali Kompleks Industri Kaesong bersama, sementara yang lain menginginkan penarikan pasukan AS dari Korsel.

"Ini adalah masalah politik yang sangat kompleks, tetapi sebagai warga negara Korea, kami menginginkan perdamaian di Semenanjung Korea," kata Gwak Eun-seok (45 tahun). "Membuka kembali Kaesong dan pariwisata ke Gunung Kumgang [di Korut] adalah langkah-langkah yang menggerakkan kita menuju perdamaian," serunya.

Para pemrotes juga akan menuntut AS dan PBB untuk mencabut sanksi ekonomi terhadap Korut. Meski, hal itu bertentangan dengan kebijakan pertama denuklirisasi tradisional AS, yang pada dasarnya menuntut agar Korut menyerahkan persenjataan senjata sebelum mendapatkan konsesi sebagai imbalan.

Meski demikian, menurut profesor dari Universitas Hawaii di Manoa, C Harrison Kim, Washington semakin memandang bahwa bantuan sanksi parsial sebagai pilihan yang layak untuk kemajuan. Ia mengatakan, bahwa di AS sanksi dikelilingi oleh pendapat yang berbeda. Di Kongres dan di Departemen Luar Negeri.

"Tetapi pada saat yang sama, ada suara-suara yang muncul tentang gagasan pencabutan sanksi. Dan, bagi saya, sanksi itu agaknya merupakan hasil dari sudut pandang yang tidak rasional, seperti perang yang memanas tentang politik konservatif di AS," kata Harrison.

Pada demonstran yang mendukung deklarasi perdamaian memenuhi jalan ketika mereka berjalan menuju Istana Gyeongbokgung yang bersejarah di Seoul. Kendati demikian, dari mereka juga diikuti oleh beberapa ratus orang yang melambaikan bendera Amerika dan menyerukan aliansi yang lebih kuat dengan AS.

"Kosel harus mempertahankan aliansi yang kuat dengan AS, dan harus mempertimbangkan keamanan nasionalnya terlebih dahulu," kata pemrotes R. Jo (54 tahun).

"Kita harus terus bersikap keras pada Korut karena kita tidak bisa mempercayai mereka. Kita hanya bisa mempercayai sekutu kita," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement