Selasa 04 Jun 2019 00:23 WIB

Jebakan Kekerasan Atas Wanita Indonesia yang Menikahi Pria Australia

Wanita asal Asia termasuk Indonesia menjadi sasaran oknum pria Australia.

Red:
abc news
abc news

Lonjakan situs media sosial di Australia yang mempromosikan perempuan muda Asia yang ingin menikah menyebabkan kenaikan pelecehan dan eksploitasi, dengan laporan beberapa perempuan ditahan di rumah-rumah di pinggiran kota dalam situasi yang bisa mengarah perdagangan manusia.

Menik (bukan nama sebenarnya) asal Indonesia pertama kali bertemu pria yang akan dinikahinya di pusat perbelanjaan tempat dia bekerja di Bali.

Mereka terus berhubungan lewat online dan pria itu meyakinkannya untuk mengunjunginya di Australia.

Pada kunjungan keduanya ke Perth, yang dibayar pria itu, dia mulai merasa takut.

"Ia ganteng. Ia baik. Ia menghormati saya pertama kali, ia memperlakukan saya dengan sangat baik pada awalnya, tetapi di Australia dia berubah," katanya.

"Dia sering minum terlalu banyak dan akan selalu meminta saya untuk berhubungan seks. Bahkan jika saya lelah dan mengatakan tidak, dia [masih] menginginkannya, kadang-kadang dua atau tiga kali sehari."

 

Menik mengatakan dia yakin suaminya menjadikannya sasaran karena dia orang Asia.

"Suamiku membenci wanita Australia, ia bilang mereka tidak berguna. Ia bilang mereka tidak memasak atau membersihkan rumah, dan mereka tidak suka berhubungan seks setelah melahirkan."

Menik tidak punya uang untuk tiket pulang, jadi dia harus memohon pada suaminya untuk membeli.

"Dia mengatakan saya harus membayarnya AU$ 5.000 jika saya ingin kembali ke Bali, untuk membayar kembali uang yang dia habiskan untuk paspor dan visa saya," katanya.

"Saya tidak punya uang jadi saya harus memberinya pijatan dan seks setiap hari sampai dia melepaskan saya."

Kembali ke Indonesia, seorang lelaki setempat yang bertindak sebagai perantara mengancamnya dan mengatakan kepadanya bahwa dia perlu membayar AU$ 5.000 kecuali dia kembali ke Australia.

Dia mengalah, khawatir keluarganya akan diancam.

"Ketika saya kembali, dia menampar saya sampai [saya] memar dan mencekik leher saya sampai saya pikir mungkin saya akan mati," katanya.

"Aku takut dia akan membunuhku. Kupikir, ketika itu aku akan mati."

Setelah setahun mengalami kekerasan yang meningkat, Menik melarikan diri ke tempat perlindungan wanita di mana dia tinggal tanpa batas waktu sementara dia menjalani proses yang panjang dan mahal dalam upaya mendapatkan visa residensi pengecualian khusus untuk memungkinkannya tinggal di Australia.

Dia mengatakan tidak ingin pulang karena keluarganya percaya dia harus tinggal bersama suaminya, meskipun ada kekerasan.

Eksploitasi pengantin internet

Enam wanita dari Thailand, Indonesia dan Filipina mengungkapkan kisah mereka kepada ABC News dengan harapan mencegah wanita lain terpikat ke dalam hubungan yang eksploitatif dengan pria Australia.

"Kami telah melihat beberapa kasus yang mengerikan di mana telah terjadi kekerasan fisik yang sangat parah dan di mana wanita merasa tidak bisa meninggalkan rumah," kata pengacara migrasi Kathy Bogoyev.

"Beberapa kasus yang kami lihat akan menuju ke yurisdiksi federal dalam hal perbudakan seksual dan jenis pelanggaran kerja paksa, jadi saya pikir ada sedikit tumpang tindih antara kasus-kasus serius ini dan beberapa perdagangan manusia dan sejenis kejahatan perbudakan juga."

Pekerja sosial Alicia Asic, dari organisasi pendukung Multicultural Futures di Perth, mengatakan dia juga melihat semakin banyak yang disebut "pengantin internet" dilecehkan.

"Ada peningkatan dalam rujukan untuk wanita, terutama dari latar belakang Asia, yang telah menikahi pria Australia untuk memulai kehidupan yang lebih baik dan menemukan diri mereka dalam situasi yang sangat tidak sehat dan berbahaya," katanya.

"Ada perampasan kebebasan, pemenjaraan, pelecehan fisik, emosional dan seksual.

"Mereka sangat rentan karena banyak dari mereka masih belajar bahasa Inggris [dan] mereka tidak mengetahui hak-hak mereka di Australia.

"Banyak dari mereka tidak dapat mengakses telepon atau internet, dan mereka tidak sadar bagaimana mencari pertolongan untuk mengeluarkan mereka dari situasi yang mereka hadapi."

 

Era baru 'pengantin pesanan lewat pos'

Selama beberapa dekade, wanita dari negara-negara berkembang banyak pindah ke negara-negara kaya seperti Australia dan Amerika Serikat, seringkali dalam pengaturan yang saling menguntungkan.

Menurut Departemen Dalam Negeri, antara 3.000 - 7.000 orang pindah ke Australia dengan visa "Prospective Marriage" setiap tahun.

 

Sejak 2010, jumlah terbesar adalah wanita dari Filipina, Vietnam, China, Kamboja dan Thailand.

Charlie Morton, yang mengelola situs kencan "International Love Scout", mengatakan stereotip "pengantin pesanan" itu tidak adil.

"Orang yang pergi mencari kencan ke luar negeri cenderung pria yang lebih tua yang tidak senang dengan situasi kencan di negara mereka sendiri, dan mereka menemukan begitu mereka pergi ke luar negeri, mereka tiba-tiba menjadi jauh lebih menarik dan dicari," katanya.

"Di bawah permukaan ini ada transaksi yang dilakukan - seorang pria rata-rata di Australia menjadi berarti di Filipina, dan bagi para wanita, menikah dengan pria Australia seperti memenangkan lotre.

"Sebagian besar, dari umpan balik yang kami dapatkan, semuanya berjalan dengan sangat baik, dan ada banyak pernikahan yang bahagia.

"Tapi kita memang sesekali melihat pria dengan masalah sikap, lebih sering menggunakan ruang obrolan yang lebih longgar, karena mereka tidak diperiksa dengan cara yang sama seperti agen kencan yang lebih terkenal memeriksa para pria."

Eksploitasi juga dapat berjalan dua arah, dengan beberapa wanita meninggalkan suami mereka di Australia segera setelah mereka mendapatkan izin tinggal permanen.

Richard Olszowy, kelahiran Perth, yang telah menikah bahagia dengan istrinya, Astrid, yang kelahiran Indonesia, selama hampir 30 tahun, mengatakan ia kerap melihat hal itu terjadi.

 

"Kami jatuh cinta ketika saya bepergian untuk bekerja ke Indonesia, dan Astrid adalah agen perjalanan di sana," katanya.

"Saya pikir dalam sebagian besar kasus itu adalah situasi plus-plus dan semua orang menang - pria bertemu seorang gadis yang mencintai dan menghormatinya, dan yang wanita mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

"Tapi kadang-kadang ada wanita yang mengeksploitasi pria untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, dan setelah dua tahun mereka menginginkan perceraian, jadi itu bisa berjalan dua arah."

Banyak pasangan yang menetap dengan bahagia

Di kelas tari Indonesia yang sibuk dan penuh warna di pinggiran selatan Perth, ABC mewawancarai beberapa pasangan yang mengatasi hambatan bahasa dan perbedaan budaya untuk menetap dengan bahagia.

Kristianingsih Dian Rahayu, yang berusia 32 tahun, pindah ke Perth pada tahun 2018 untuk menikahi pria yang dikenalnya di situs kencan, dan mengatakan bahwa mereka sangat saling mencintai.

 

"Kami bertemu di situs web 'Indonesian Cupid' dan saya langsung menyukainya," katanya.

"Kami bertemu selama lima hari di Singapura dan itu luar biasa, kami merasa sangat cocok dan kami memutuskan untuk melanjutkan hubungan."

Ditanya apakah ada ketidakseimbangan kekuatan dalam hubungan, Dian berpikir.

"Saya kira dia masih membantu saya dengan uang, karena saya belum bisa mendapatkan pekerjaan, jadi dia adalah pencari nafkah," katanya.

"Jadi saya cenderung di rumah, mengelola rumah, sementara dia bekerja. Tapi saya sangat senang, dan saya senang kami bertemu, dan segera saya akan dapat visa, jadi itu bagus."

 

Pemerintah berupaya mengurangi eksploitasi

Pemerintah Federal telah membuat sejumlah perubahan untuk mencoba mengurangi eksploitasi.

Jumlah pasangang dari luar negeri yang dapat disponsori seseorang telah dibatasi sebanyak dua kali seumur hidup, dan pada tahun 2018 diberlakukan undang-undang yang mewajibkan bagi sponsor untuk menjalani pemeriksaan polisi serta pemeriksaan karakter.

Ada juga pengecualian khusus bagi orang-orang dengan visa pernikahan prospektif untuk tinggal di Australia jika dapat membuktikan mereka harus meninggalkan hubungan karena kekerasan.

Setiap tahun sekitar 300 hingga 400 orang mendapatkan aplikasi disetujui.

Tetapi mereka yang membantu para wanita yang keluar dari hubungan kekerasan mengatakan masih jarang para pelanggar diadili, karena takut akan pembalasan, takut pada polisi, dan takut akan dideportasi.

"Kami melihat pria menggunakan kontrol yang mereka miliki atas status visa pasangan mereka sebagai ancaman, untuk menjaga mereka dalam hubungan dan dapat terus melanggengkan kekerasan terhadap mereka," kata Bogoyev.

"Ini adalah bentuk paksaan dan kontrol yang bisa berpotensi sangat berbahaya.

"Wanita yang meninggalkan suatu hubungan seringkali tidak memenuhi syarat untuk Centrelink (tunjangan) dan Medicare (jaminan kesehatan), membuat mereka berharap pada belas kasihan badan amal gereja dan tempat perlindungan wanita untuk melindungi mereka.

Data yang dikumpulkan pada tahun 2016 oleh Women's Council for Domestic and Family Violence Service Australia Barat menunjukkan ada sekitar 300 wanita dan anak-anak tanpa pendapatan atau tempat tinggal permanen yang tinggal di tempat perlindungan di seluruh negara bagian.

Beberapa dari mereka tinggal di akomodasi darurat selama antara satu dan dua tahun sambil menunggu aplikasi visa mereka diproses.

 

Simak laporannya dalam Bahasa Inggris di sini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement