REPUBLIKA.CO.ID, COX'S BAZAR -- Jaber Hossain adalah satu dari ratusan ribu pengungsi Rohingya yang kini hidup Cox's Bazar, Bangladesh. Saat merayakan Idul Fitri, pada Rabu (5/6), perasaan campur aduk dirasakannya. Di satu sisi dia merasakan sukacita dan di sisi lain dia mengingat bagaimana dia terusir dari kampungnya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
"Saya dapat melakukan shalat Id di sini tanpa rasa takut terhadap serangan dan kami tidak perlu terus melibatkan beberapa orang kami dalam menjaga kami pada saat shalat Id seperti yang harus kami lakukan di Myanmar," kata Hossain saat diwawancara Anadolu Agency.
Hossain mengungkapkan, di Rakhine, kumandang azan di sebagian besar masjid dilarang otoritas Myanmar. Kegiatan peribadahan umat Muslim di sana pun kerap diusik oleh kalangan ekstremis Buddha.
"Umat Buddha ekstremis sering mendatangi kami, menegur kami, dan secara fisik menyerang kami dalam perjalanan ke masjid dan dalam perjalanan pulang setelah shalat. Sekarang saya merasa betapa dirampasnya kami di Myanmar sebagai Muslim," ucap Hossain.
Kendati demikian, Hossain tak bisa menampik dia memang merindukan rumahnya di Rakhine. Hal itu juga dirasakan Mahmud Ullah, seorang pengungsi Rohingya lainnya di Cox's Bazar.
"Bangladesh bukan negara saya. Kita hidup di sini oleh belas kasihan orang lain. Kami ingin kembali ke negara kami sendiri, tapi kami membutuhkan hak kewarganegaraan dan keamanan terlebih dahulu," ujar Ullah.
"Idul Fitri adalah untuk orang-orang bebas yang memiliki rumah, tanah, dan identitas mereka sendiri. Itu bukan untuk kami. Kami tidak bebas, kami seperti tahanan," kata Ullah.
Hamida Khatun, pengungsi Rohingya lainnya, juga merasakan hal yang sama dengan Hossain dan Ullah. Namun, selain kampung halaman, dia juga merindukan mendiang suaminya, Mohammad Toyab. Dia dibunuh oleh militer Myanmar dalam operasi pada 2017.
"Sungguh hidup saya bahagia. Suami saya bekerja di ladang dan saya mengatur rumah. Dia pulang pada malam hari dan kami berdua merawat bayi-bayi kami. Sekarang saya sendirian. Saya tidak punya rumah, tidak punya properti, tidak ada yang berbagi kesedihan," kata Khatun.
Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional.