Negara-negara barat didesak mengkaji ulang kebijakan daur ulang dan diminta mengurangi produksi sampah menyusul kisruh limbah plastik yang melibatkan negara Asia Tenggara. Hal ini diperlukan guna menghindari konflik dengan negara-negara yang menjadi negara tujuan ekspor sampah pasca Cina menutup keran impor pada Januari 2018 silam.
"Masalahnya adalah jumlahnya yang sangat besar," kata Arnaud Brunet, Kepala Biro Daur Ulang Internasional (BIR) di Brussels, Belgia, kepada kantor berita AFP. Tanpa kebijakan yang jelas, aliran sampah dari negara maju ke negara miskin akan tetap mengalir. Jika Asia Tenggara menolak, masih banyak kawasan lain yang bisa dijadikan tempat pembuangan akhir.
Baca juga: Filipina Banjir Sampah Asing, Mengapa Negara Maju Gagal Kelola Limbah Sendiri?
"Sejumlah negara sayangnya akan berujung menjadi tempat pembuangan limbah baru. Negara paling miskin akan mengeruk keuntungan, tapi juga harus membayar ongkos sosial dan lingkungan," tutur Vincent Aurez, ekonom kantor konsultan, EY.
Eropa selama ini mendaur ulang limbah plastik murni seperti botol berbahan polietilena tereftalat, namun mengekspor sampah plastik yang sudah terkontaminasi layaknya pada kemasan karton, dan sebabnya tidak bisa didaur-ulang. "Kebijakan Malaysia menggarisbawahi pentingnya program daur ulang dan tata kelola sektor hilir yang bertanggungjawab," kata Adina Renee Adler dari Institute of Scrap Recycling Industries (ISRI), sebuah lembaga lobi industri besi tua Amerika Serikat.
Sejauh ini negara maju belum memiliki solusi berkelanjutan untuk mendaurulang limbah plastik yang telah terkontaminasi. Terlebih daya serap industri Eropa terhadap bahan baku hasil daur ulang jauh lebih rendah ketimbang di Cina, di mana industri daur ulang terintegrasi dengan sektor manufaktur.
Brunet meyakini Eropa harus berinvestasi di bidang penelitian untuk mengembangkan sistem pemilahan yang lebih cerdas, alias mampu memisahkan plastik yang terkandung di dalam kemasan.
Sementara itu sektor manufaktur harus didesak untuk mempertimbangkan prospek daur ulang saat mengembangkan sebuah produk. Saat ini industri plastik menikmati laju pertumbuhan yang stabil, kendati kebijakan anti plastik yang diterapkan di berbagai negara. Selama satu dekade terakhir, produksi plastik global melonjak dari 245 juta ton menjadi 359 juta ton pada 2018, menurut Federasi Plastik Eropa.
Baca juga: Usai Larangan Impor Cina, Limbah Plastik Dunia Serbu Asia Tenggara
Angka itu berbanding terbalik dengan tingkat daur ulang negara-negara industri yang berkisar antara 31 persen di Eropa, hingga 10 persen di Amerika Serikat. "Bahkan jika kita mampu menemukan kegunaan baru plastik daur ulang, sejumlah material masih tetap jadi masalah. Jadi kita harus berhenti memproduksi dan mengkonsumsinya," kata Laura Chatel dari LSM lingkungan Perancis, Zero Waste.
Dan hal ini berlaku khususnya untuk lapisan plastik penutup dan material campuran, imbuhnya. "Kita harus mengurangi konsumsi kemasan yang berarti mengubah pola distribusi barang," seperti menjual kemasan besar dan mengurangi kemasan kecil.
rzn/ml (AFP)