REPUBLIKA.CO.ID, OTTAWA -- Kanada berencana melarang penggunaan sebagian plastik sekali-pakai seperti sedotan, tas dan alat pemotong paling lambat pada 2021. Hal ini dilakukan untuk mengurangi limbah yang tak bisa didaur ulang dan melindungi samudra dunia.
Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau pada Senin (10/6) mengumumkan tindakan itu dari tepi danau di Gault Nature Reserve di Quebec kurang dari lima bulan sebelum pemilihan umum nasional. Perubahan iklim dan polusi termasuk dalam masalah utama kampanye untuk proses demokrasi tersebut.
"Jujur saja, sebagai seorang ayah, berat untuk berusaha menjelaskan kepada anak-anak saya. Bagaimana anda menjelaskan ikan paus mati yang terseret arus ke pantai di seluruh dunia, perut mereka dipenuhi oleh tas plastik?" kata Trudeau.
Ia menambahkan, masalah sampah plastik merupakan hal yang serius. Plastik sudah memenuhi seluruh garis pantai. "Sebagai orang tua, kita berada pada tahap ketika kita membawa anak-anak kita ke pantai dan kita harus mencari jalan di pasir yang tidak dipenuhi sampah sedotan, styrofoam atau botol. Ini masalah, yang harus kita tangani," katanya menambahkan.
Tindakan Kanada mengikuti tindakan Parlemen Eropa, yang awal tahun ini melakukan pemungutan suara untuk melarang beberapa produk plastik sekali-pakai. Ini juga terkait dengan pertikaian baru-baru ini dengan Filipina dan Malaysia mengenai limbah Kanada yang dikirim ke kedua negara itu.
Tahun lalu, Kanada menaja piagam plastik samudra G7 yang dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan plastik. Pada Mei, PBB menyatakan 180 negara mencapai kesepakatan untuk mengurangi secara tajam jumlah plastik yang hanyut ke samudra.
Penundaan Kanada mengenai pelaksanaan sampai 2021 memberi waktu untuk membuat keputusan yang didasarkan atas ilmu pengetahuan mengenai secara pasti plastik mana yang berbahaya buat lingkungan hidup dan kesehatan manusia.
Itu juga akan memberi pengusaha waktu untuk menyesuaikan diri. Restoran cepat-saji nanti harus menemukan penyelesaian baru buat sedotan dan alat potong plastik.
Kanada belum lama ini terlibat pertikaian politik dengan Filipina sehubungan dengan 1.500 ton limbah rumah tangga yang dikirim ke negara Asia Tenggara tersebut pada 2013 dan 2014. Sampah ini secara menyesatkan diberi label sebagai plastik daur ulang. Kanada pada Mei setuju untuk menerimanya kembali, setelah perselisihan diplomatik yang berlarut.
Malaysia juga menyatakan akan mengembalikan 3.000 ton limbah plastik dari Kanada, Amerika Serikat, Jepang dan Inggris. "Masalah polusi plastik akan terus dipandang sebagai masalah buat negara berkembang, yang merasa mereka ditimbuni limbah dari negara kaya yang mesti mengurus limbah mereka sendiri di dalam negeri mereka," kata Sara Seck, profesor hukum di Dalhousie University.