REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama satu bulan penuh pada Mei 2019, Indonesia mengemban amanah menjadi presiden Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Adapun tugas Indonesia, yakni memimpin sidang pada agenda yang ada di DK PBB sehingga menghasilkan presidential statement.
Selain itu, Indonesia berkontribusi membuat terobosan baru di DK PBB. Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Indonesia Febrian A Ruddyard mengatakan, presidensi Indonesia juga memperkenalkan working method atau cara kerja baru yang inovatif untuk mencari terobosan terhadap isu-isu yang selama ini sulit pembahasannya.
Salah satunya ada 'Sofa Talk'. Febrian menjelaskan sofa talk adalah pertemuan informal di antara Watap (Wakil tetap) anggota DK PBB di Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) New York.
"Format pertemuan menggunakan sofa tanpa meja, dan tanpa agenda khusus, dan hanya dihadiri oleh Watap, tanpa rekaman apapun," ujar Febriran di Kementerian Luar Negeri Indonesia, Selasa (11/6).
Dalam diskusi Sofa Talk, sifat informal memungkinkan terjadinya diskusi terbuka tanpa atribusi kepada posisi nasional negara. "Jadi lebih kepada brainstorming untuk tingkatkan confident dan trust di antara Watap DK PBB," ujarnya.
Selain itu, terobosan lain pada regional wrap-up session. Berbeda dengan penyelenggaraan regional wrap-up session sebelumnya, di mana hanya dilakukan oleh Presiden DK yang memimpin, dalam presidensi Indonesia, mengundang negara-negara nonpermanen DK PBB yang mewakili kawasan-kasawasan regional berbeda. Tujuannya adalah untuk menyampaikan assesment terhadap kegiatan DK pada presidensi Indonesia.
"Contohnya seperti Kuwait yang mewakili Timur Tengah telah menyampaikan assesement terkait perkembangan di Timur Tengah (Yemen, Suriah, Libya, Palestina)," ujar Febrian.