Brenton Tarrant, pria asal Australia yang menjadi terdakwa kasus pembunuhan jamaah masjid di Christchurch, Selandia Baru, menyatakan tidak bersalah atas 51 dakwaan pembunuhan.
Sidang Kasus Christchurch
- Pria berusia 28 tahun ini menghadapi 51 dakwaan pembunuhan, 40 dakwaan percobaaan pembunuhan, dan satu dakwaan terlibat tindakan teroris
- Persidangan kasusnya akan digelar pada Mei 2020
- Brenton Tarrant kini mendekam di penjara dengan pengawasan ketat di Auckland
Dalam persidangan di pengadilan High Court di Christchurch, Jumat (14/6/2019), Terdakwa Tarrant melalui pengacaranya juga mengaku tidak bersalah atas 40 dakwaan percobaan pembunuhan serta satu dakwaan terlibat tindakan teroris.
Tarrant merupakan orang pertama yang dikenai dakwaan pemberantasan terorisme di Selandia Baru, yang diberlakukan sejak setelah serangan 11 September 2001.
Pria berusia 28 tahun itu tampak tenang saat muncul melalui sambungan video dari sebuah penjara berkeamanan tinggi di Auckland.
Beberapa kali dia tampak tersenyum atau menyeringai, dan hal itu memicu kekesalan beberapa orang yang hadir di ruang sidang.
Ruang sidang utama High Court dipenuhi sekitar 80 anggota keluarga para korban, termasuk mereka yang jadi korban terluka dalam serangan itu.
Persidangan ini memang dinyatakan terbuka untuk umum.
Seorang warga yang berbicara kepada para korban dan keluarga mereka menjelang sidang, meminta mereka untuk mengambil hikmah dari bulan suci Ramadan yang baru lewat.
Prosesi persidangan ditetapkan akan mulai berlangsung 4 Mei tahun 2020.
Belum jelas pada tahap ini seperti apa strategi pembelaan Terdakwa Tarrant, namun diperkirakan sejumlah besar saksi akan dihadirkan dalam persidangan.
Ada laporan bahwa Terdakwa Tarrant berencana membela diri sendiri di pengadilan, tetapi saat ini dia masih diwakili oleh pengacara di Auckland, Shane Tait dan Jonathan Hudson.
Di luar gedung pengadilan, para korban selamat menyatakan kekesalan karena Tarrant memilih untuk mengaku tidak bersalah atas semua dakwaan.
Abdul Aziz, yang dipuji sebagai pahlawan karena menghadapi pria bersenjata itu selama penembakan di Linwood, menyebut Tarrant sebagai seorang "pengecut."
"Itu bukan bagus dan menyenangkan untuk dilihat. Tapi penting untuk hadir dan melihat wajahnya yang konyol. Sangat berat untuk menatapnya," kata Abdul Azis.
Peristiwa itu terjadi pada 15 Maret lalu, ketika pria dengan senjata berkekuatan tinggi, menembaki para jamaah di dua masjid saat waktu salat Jumat.
Serangan tersebut menewaskan 51 jamaah masjid, termasuk beberapa anak kecil.
Terdakwa juga menyiarkan langsung aksinya melalui akun medsos Facebook. Video tersebut sempat ditonton lebih dari 4.000 kali sebelum dihapus oleh Facebook atas permintaan polisi Selandia Baru.
Namun, 24 jam setelah serangan, Facebook juga harus menghapus sekitar 1,5 juta video dari platformnya, karena video itu telah banyak dibagikan.
Senjatanya diperoleh secara legal
Tarrant dibesarkan di Grafton, sebuah kota di New South Wales utara. Dia menetap di Kota Dunedin, Selandia Baru, sejak beberapa bulan sebelum serangan.
Ia diketahui mengunjungi sejumlah negara di Eropa, Asia Tenggara dan Asia Timur.
Tarrant memiliki izin kepemilikan senjata yang memungkinkannya mendapatkan senjata secara legal. Dia tercatat sebagai anggota klub senjata di dekat Dunedin.
Pria ini sebelumnya tidak dikenali oleh otoritas keamanan Australia maupun Selandia Baru dalam kaitan dengan ekstremisme atau kejahatan serius lainnya.
Perubahan UU senjata
PM Jacinda Ardern bertekad mengubah undang-undang senjata negara itu selang beberapa hari setelah serangan.
Pada bulan April, Parlemen Selandia Baru memutuskan untuk melarang sebagian besar senjata semi-otomatis, mengubah senjata api menjadi senjata api semi-otomatis, peluru dengan kapasitas tertentu, dan sejumlah jenis senapan.
PM Ardern, yang banyak dipuji atas caranya menangani krisis setelah kejadian itu, mendesak Parlemen untuk mendukung perubahan ini demi para korban pembantaian Christchurch.
"Senjata-senjata ini dirancang untuk membunuh, dirancang untuk melukai. Itulah yang terjadi pada tanggal 15 Maret," ujarnya.
Bulan lalu, PM Ardern bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron memelopori upaya untuk menghilangkan konten kekerasan di dunia online.
Facebook merespon upaya ini dengan mengumumkan akan menutup akun-akun yang melanggar aturan menggunakan siaran langsung di platform medsos ini.
Simak beritanya dalam bahasa Inggris di sini.