REPUBLIKA.CO.ID, JEDDAH -- Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) meminta Pemerintah Moldova mempertimbangkan kembali keputusan untuk memindahkan kedutaan besar negara itu dari Ibu Kota Tel Aviv, Israel ke Yerusalem. Negara tersebut juga diminta menghormati hukum internasional yang melatarbelakangi hal itu.
“Moldova agar menghormati kewajiban hukum dan politiknya berdasarkan hukum internasional dan resolusi legitimasi internasional,” ujar pernyataan OKI, dilansir Middle East Monitor, Jumat (14/6).
OKI mengatakan Moldova telah melakukan sebuah langkah yang bertentangan dengan hukum internasional. Dengan keputusan tersebut, negara Eropa itu melanggar resolusi Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB mengenai Yerusalem.
"Langkah ilegal ini merupakan pelanggaran Dewan Keamanan PBB dan resolusi Majelis Umum PBB tentang Yerusalem, yang dengan tegas menolak segala tindakan yang akan merugikan status historis, hukum, dan politik Yerusalem yang diduduki," kata pernyataan OKI lebih lanjut.
Sebelumnya, pada Selasa (11/6) lalu, Pemerintah Moldova mengumumkan akan memindahkan kedutaan besar negara itu di Israel yang berada di Tel Aviv ke Yerusalem. Pengumuman ini datang setelah terjadinya krisis konstitusi, serta pemindahan kekuasaan yang terjadi pekan lalu, dan berakhir dengan penangguhan terhadap presiden terpilih Igor Dodon.
Dengan pernyataan tersebut, Moldova akan menjadi satu-satunya negara Eropa yang memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem. Salah satu pertimbangan langkah itu dilakukan adalah karena ketidakstabilan dan ketidakpastian politik yang sedang terjadi.
"Kami berada dalam situasi untuk segera mengadopsi keputusan ini dengan mempertimbangkan ketidakstabilan dan ketidakpastian politik di negara ini, tetapi juga perkembangan politik terbaru sedangkan salah satu partai politik yang terus mencoba mengambil alih kekuasaan secara ilegal,” ujar pernyataan pemerintah di bawah Perdana Menteri Pavel Filip.
Pernyataan itu juga menekankan langkah Moldova adalah komitmen yang telah dilakukan sebelumnya. Filip meminta agar hal itu dihormati, terlepas dari kemungkinan yang terjadi setelah pemilihan cepat berlangsung di negara itu.
Langkah Moldova untuk memindahkan kedutaan besar negara itu di Israel pertama kalinya dipertimbangkan pada Desember 2018 oleh Dodon. Pertimbangan itu dilakukan setelah Amerika Serikat (AS) yang dipimpin oleh Presiden Donald Trump melakukan hal itu.
Trump melakukan pemindahan kedutaan besar AS ke Yerusalem, sebagai bentuk pengakuan bahwa kota tersebut adalah Ibu Kota Israel. Langkah ini kemudian diikuti oleh beberapa negara seperti Guatemala dan Paraguay.
Meski demikian, Presiden Paraguay Mario Abdo membalikkan keputusan pemerintah tersebut. Ia mengatakan bahwa kedutaan negaranya akan pindah kembali ke Tel Aviv, yang diakui secara resmi sebagai Ibu Kota Israel.
Sementara, negara Eropa lannya yang mempertimbangkan untuk memindahkan kedutaan besar ke Yerusalem adalah Rumania dan Ukraina. Kemudian ada Honduras yang baru-baru ini mengumumkan rencana tersebut.
Langkah AS yang pertama kalinya memindahkan kedutaan besar negaranya ke Yerusalem telah mendapat kecaman besar dari dunia internasional, khususnya oleh rakyat Palestina dan termasuk banyak negara Barat yang merupakan sekutu Negeri Paman Sam. Selama ini, status Yerusalem menjadi hambatan tersulit dalam kesepakatan damai antara Israel dan Palestina.
Israel selama ini telah menganggap seluruh bagian Yerusalem, termasuk bagian timur yang dianeksasi setelah perang Timur Tengah 1967 sebagai Ibu Kota. Namun, Palestina dengan dukungan internasional yang luas memandang bahwa Yerusalem Timur adalah Ibu Kota negara di masa depan yang akan didirikan di Tepi Barat dan Jalur Gaza.